BUDIDAYA: Harianton tengah membudidaya kopi jenis Typica untuk diperbanyak dan dibagikan ke para petani setempat.
Jenis kopi ini merupakan varietas nenek moyang kopi Arabica, Liberika dan Hibrida. Typica adalah varietas tertua asal Ethiopia yang sudah ada sejak 600 M.
Di Lombok, jenis Typica ini bisa didapatkan di salah satu desa kaki Gunung Rinjani. Desa Sapit namanya.
Desa yang terletak di Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur ini menyimpan kekayaan luar biasa. Di desa inilah varietas kopi tertua tersebut bisa didapati.
Varietas ini juga ditemukan di hutan-hutan di lereng Rinjani, salah satunya di hutan Sebau. Arabika Typica termasuk jenis varietas langka, meksi ada tapi dalam jumlah yang sedkit.
“Di Indonesia bahkan di Lombok ini ada, tapi jumlahnya sangat sedikit,” terang petani sekaligus pegiat kopi Sapit, Harianton.
Ia menceritakan, kopi pertama kali ditemukan oleh orang Ethiopia. Varitas pertama yang ditemukan yakni Arabica Typica.
Dalam catatan sejarah kopi ke Indonesia, varietas ini sudah masuk ratusan tahun yang lalu. Bibit dan biji kopi ini dibawa oleh orang-orang Belanda yang mengemban misi kokonialisme. Dari mereka inilah kemudian memaksa para petani Indoensia menanam kopi.
Harianton menjelaskan, varietas ini jumlahnya banyak. Jika dibudidayakan di daerah beriklim tropis akan mudah tumbuh. Tak heran jika kopi ini masih bisa ditemukan di hutan di kawasan pegunungan Rinjani.
Di Lotim, terangnya, varietas ini tak hanya bisa dijumpai di Sapit, tapi juga bisa ditemukan di kawasan hutan Desa Mekar Sari, Sebau Sembalun dan Dusun Keling Desa Puncak Jeringo.
“Kalau dikomparasikan dengan jejak itu, kopi di Lombok ini juga sudah tua, karena umurnya sudah ratusan tahun lamanya,” ucapnya.
Varietas Arabica Typica di Sapit, terangnya, sudah sejak sebelum kemerdekaan. Dulu, varietas tersebut sampai tahun 2000-an masih bisa ditemukan di pekarangan rumah warga. Lantaran itu, ia meyakini kopi varietas tersebut menjadi salah satu alasan pilihan para petani kopi Sapit.
Ia menjelaskan, varietas tersebut ditanam di ketinggian 800 sampai dengan 2000 mdpl. Sapit, salah satu tempat yang cocok, karena rata-rata kebun di Desa Sapit berada pada 800 mdpl.
Lantaran alasan itu, Harianton mengajak para petani setempat di desa itu membudidayakan jenis kopi yang satu ini. Selain cocok karena alasan geografis, juga memiliki nilai lain yakni pada keseimbangan hutan. Varietas ini, tak bisa hidup sendiri harus ada pohon lain yang menaunginya, untuk mengatur pencahayaan yang masuk.
“Untuk itu di dalam hutan varietas tersebut, masih bertahan sampai saat ini,” terangnya.
Agar jenis kopi ini tumbuh massif, Harianton membagikan varietas tersebut ke hampir 30 petani. Dari jumlah petani itu menggarap lahan seluas 20 hektar.
Dia menuturkan, banyak petani di luar Sapit yang tertarik membeli bibit tersebut tapi. Namun demikian, bibit dan biji kopi ini tidak dijual. Alasannya, jenis Typica ini dicitak-citakan berendemi di Desa Sapit.
"Kalau sudah seperti itu, paling tidak orang-orang akan berkunjung ke Sapit mencari kopi ini," ucapnya.
Dari sisi komersil, jelasnya, bibit kopi Typica yang dibudidayakan bisa dibandrol Rp 5 ribu. Harga ini dianggap relatif mahal lantaran varietas kopi yang satu ini terbilang langka.
Betapa tidak, untuk biji kopi Typica per kilogram saja bisa dijual mulai Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu. Padahal di pasar nasional, bahkan internasional, harganya di kisaran Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per kilogram.
Tapi, ia mengakui, penghasilan kopi dengan varietas Typica ketika panen jika diukur dengan kopi turunannya, cenderung lebih sedikit. Hanya saja dari varietas ini pengasilan petani satu berbanding empat dari sisi harga.
Akibat minimnya hasil panen pada kopi ini, tak heran banyak negara yang sudah mulai meninggalkan varietas ini.
“Artinya, ketika panen nanti yang 6 kg basah biji cerrynya, paling jadi 1 kg ketika kering,” jelasnya.
Biji varietas Typica, lebih kecil dibndingkan dengan biji kopi lainnya, dengan bentuk pipih. Ada perbedaan rasa dengan varietas lainnya. Robusta atau Arabica di luar varietas itu, keasaman dan bijinya tipis. Sementara varietas Typica, keasaman dan bijinya seimbang.
Ia menambahkan, tempat spesial Typica adalah long after taste (tahan lama). Kadang jika diroasting dengan baik, akan menghasilkan rasa jeruk yang bisa bertahan sampai setengah jam.
“Jadi cocok dengan lidah semua kalangan,” terangnya.
Petani Sapit, terangnya, menanam kopi Typica yang belum pernah dikawin silang dengan varietas lainnya. Di Sembalun pun, jelasnya, rata-rata petani menanam jenis Arabica tapi, yang pernah mengalami kawin silang. Buntutnya, di Sembalun itu kebanyakan dari turunan dari varietas Typica seperti Catimur, SL34, SL28, dan lain sebagainya.
“Kami akan pertahankan Typica yang single origin. Kebetulan juga Typica menjadi varietas nomor satu ketika kompetisi internasional di Atlanta,” terangnya.
Salah seorang petani Sapit, Muhammad Kahfi mengatakan, dulu banyak varietas ini tumbuh di Sapit. Namun karena kurangnya pengetahuan cara membudidaya varietas tersebut, petani jadi meninggakannya.
Varietas ini, harus dinaungi pohon guna mengatur pencahayaan. Cahaya untuk Typica hanya 40 persen sampai 50 persen. Karena Typica cocoknya di udara yang lembab.
Kalau tak ada pohon yang mengatur pemcahayaan, maka bebruntut pada bunga sampai buah. Bunganya akan gugur dan buahnya sedikit. Bahkan, mungkin akan berpengaruh pada rasa.
“Karena sekarang kita sudah tahu model budidayanya, labih baik kita nanam Typica, meski lebih sedikit tapi ini merupakan kopi kelas satu di dunia,” tandasnya. (jl)
*Sumber tulisan wartarinjani.net