Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd |
Penolakan Masyarakat Sasak Terhadap Perilaku Malas
Mbah Surip, si penggendong guitar akustik itu, tidak hanya memberikan aksentuasi lewat lirik-lirik lagu “bangun tidur,” tetapi monolog liriknya juga begitu gamblang menyerukan untuk meninggalkan kemalasan. Dalam monolog lirik itu dia beteriak lantang. “ Kerja…bagun! Barang siapa yang ingin awet muda dan bahagia di dunia ini, kurangi tidur dan banyak-in ngopi! Ha…ha…ha…ha…! I love you full.”
Teriakan hebat dengan gaya nyantai se-enteng kapas, si Mbah benar-benar mengikuti tuntunan syar’i. Dengan intelektualitas seni berbahasa, seniman penawar gendongan itu sangat mempertimbangkan perasaan. Bagi Mbah Surip, “banyak tidur” dianalogkan dengan kemalasan. Sedangkan “bangun” dan “banyak ngopi,” Mbah Surip setarakan dengan sikap rajin bekerja. Karena pilihan diksi yang mengikuti sifat lembut perasaan, monolog lirik lagu “bangun tidur” yang sesungguhnya kritik tajam sontak berubah, seakan menjadi hentakan yang menyeret hasrat setiap orang untuk “bergoyang geol,” khususnya bagi para pemalas. Dalam faktanya, energy monolog lirik pada lagu “bangun ridur” tidak sedikit mendorong penggemar si Mbah beringsut hijrah dari sikap malas menjadi pekerja keras. Betul-betul “bil hikmati wal mauizhotil hasanah”.
Potongan monolog si Mbah yang berisi seruan: “Barang siapa yang ingin awet muda dan bahagia di dunia ini, kurangi tidur dan banyak-in ngopi,” harus dikukuhkan sebagai pesan visible. Alasannya, karena seruan itu adalah penegasan untuk berinvestasi sejak dini dengan membangun sikap rajin. Dia memberi penjaminan dalam seruan itu, bahwa menaklukkan kemalasan hari ini berarti telah membangun dinasti yang akan diperhitungkan di masa mendatang. Dalam pesan dan amar syar’i, jaminan ini senada dengan “dunia adalah areal bercocok tanam dan hasilnya akan dipanen sebagai bekal di akhirat kelak.” Sementara itu, dalam nalar nusantara, jaminan si Mbah sepadan dengan kalimat orang-orang arif yang menegaskan “rajin pangkal pandai,” yang sekaligus menjadi penegasan mereka yang memastikan bahwa “malas adalah awal keterbelakangan.”
Dalam nalar Eropa dan Amerika, jaminan si Mbah sekelas pula dengan sebuah global truth, yang menguraikan: “Time is money.” Ungkapan yang diterima secara universal ini pun setara dengan kalimat, “ No time to laze around!” Kedua kebenaran umum ini sama-sama menyatakan penolakan terhadap sikap malas. Kebenaran-kebenaran tersebut secara inplisit menegaskan bahwa kemalasan akan mebidani kemelaratan dan giat atau rajin berusaha akan menghadirkan sebuah kejayaan.
Di jazirah Arab, jaminan si Mbah sewarna dengan al-waktu kassaif atau al-waktu atsmanu minazd zdahabi. Ketika dalam nalar Arab memandang bahwa waktu lebih berharga daripada emas, maka secara otomatis nalar Arab pun memosisikan para pemalas yang menyia-nyiakan waktu serumpun dengan orang-orang yang merugi. Penegasan tentang perbandingan antara waktu dan emas dalam nalar Arab, menunjukkan keberpihakan bangsa Arab terhadap orang-orang yang rajin dan giat bekerja. Penegasan itu juga memastikan penolakan orang Arab terhadap sikap malas yang mengancam keberlangsungan masa depan.
Rupa-rupanya, sikap malas menjadi common enemy setiap budaya. Setiap peradaban, baik di Asia, Eropa, Amerika, Australia, dan anak-anak benua lainnya, tidak menyisakan ruang sedikit pun dalam zona dan waktunya untuk kemalasan. Fakta ini menunjukkan bahwa sikap malas benar-benar berbahaya bagi setiap bangsa. Setidak-tidaknya, kemalasan dan sikap malas dipandang sebagai virus yang dipastikan akan melemahkan sendi-sendi ketahanan territory setiap bangsa-bangsa yang tumbuh dan berkembang disetiap benua.
Begitu kompaknya bangsa-bangsa menyatakan “tidak” untuk menolak sikap malas, ternyata di balik itu semua, ada suara langit yang menjadi Maha Perekatnya. Kemalasan dan sikap malas bagi Yang Maha Agung adalah sebuah kehinaan yang menyebabkan beberapa penghambaan manusia tertolak. Dapat dibayangkan, jika karena sikap malas dan kemalasan, penghambaan kita tertolak, maka apa yang kita harapkan untuk mendekati ridlo Alloh?
Alloh SWT dalam QS An- Nisa ayat 142 menyatakan: “ Sesungguhnya orang munafik itu menipu Alloh dan tentu tipuan mereka akan mendapat balasan setimpal dari Alloh. Orang yang termasuk munafik juga adalah orang yang apabila mereka berdiri dalam sholatnya dengan malas dan mereka sholat hanya untuk bermaksud riya’ dihadapan manusia. Selain itu, orang munafik adalah mereka yang sedikit sekali mengingat dan menyebut nama Alloh.
Dalam firman Alloh SWT di atas, malas dilekatkan dengan dua perkara, yaitu sifat munafik dan kewajiban menunaikan sholat. Dengan berdasar pada hal tersebut, para mufassir kemudian memberikan penegasan bahwa malas adalah sebagian dari ciri kemunafikan seseorang.Selanjutnya, dalam beberapa tafsir pun dinyatakan bahwa malas dalam konteks kewajiban sholat menjatuhkan seseorang sebagai mesin penghancur agama. Na’uzubillah summa na’uzubillah.
Dalam QS At- Taubah ayat 54, Alloh Ta’ala juga menegaskan: ” Tidak ada penghalang tersalurkannya ‘amal mereka, kecuali karena beberapa perkara, di antaranya kufur kepada Alloh dan Rasul-Nya, malas menunaikan sholat, dan menafkahkan harta mereka dengan terpaksa atau berat hati.”
Dalam penegasan Alloh SWT di atas, malas dapat dipandang sebagai perusak amal ibadah seseorang. Malas menjadi dinding penghalang tersambungnya niat dan pelaksanaan amal ibadah dengan penerimaan Yang Maha Mulia. Maka oleh sebab itu, malas adalah hal yang terlebih dahulu harus diluluh-lantahkan sebelum niat dan pelaksanaan amal ibadah yang semata-mata untuk mengharap ridlo Pemilik Maha Cinta.
Sebagai bangsa di anak-anak Benua Asia, kita Bangsa Sasak Indonesia harus bersyukur setinggi-tingginya karena nalar kita pun masuk dalam rumpun yang dilekatkan kekuatan langit. Nalar Sasak juga menjadikan sikap malas dan kemalasan sebagai musuh terbesar. Dalam nalarnya, Bangsa Sasak Indonesia “meneriaki” kemalasan dengan sesenggak atau ungkapan “Berat Siku Deang Cangkem.”
Secara kata perkata “Berat Siku Deang Cangkem” berarti: 1). Berat artinya terbeban atau sulit bergerak. 2). Siku berarti tungkai lengan atau tangan secara umum, 3). Deang berarti ringan, 4). Cangkem artinya mulut. Dengan demikian maka secara explicit atau tersurat berarti seseorang yang memiliki tangan yang sulit digerakkan tetapi memiliki mulut yang tiada henti mengunyah makanan. Sementara itu, “Berat Siku Deang Cangkem” sesungguhnya merupakan konotasi untuk menyebut seseorang yang malas tetapi memiliki sifat rakus yang luar biasa.
Dalam nalar Sasak Indonesia “Berat Siku Deang Cangkem” setara dengan frase “Gedak Melak.” Artinya pun nyaris sama dengan “Berat Siku Deang Cangkem”, yaitu malas tapi rakus. Sebagai kelompok bangsa yang beradab dan berkemanusiaan, Sasak Indonesia akan sangat malu dan terpukul jika warganya masih berkelindan dalam area “Berat Siku Deang Cangkem.” Lebih lagi sebagai bangsa yang ber-Tuhan, bangsa Sasak Indonesia akan merasa hina jika tidak berhasil mengikis habis perilaku “Berat Siku Deang Cangkem” atau “Gedak Melak.” Oleh sebab itu, mari kita bahu-membahu menjadikan “Berat Siku Deang Cangkem” “Gedak Melak” sebagai common enemy. Wallohu’alamu.
*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor dan tenaga pendidik di SMA NW Pancor.