Oleh : Jayadi |
Dikesempatan ini, penulis tidak akan membahas problem dan dinamika pemilihan dimasa pandemi. Penulis ingin mendalami kajian mengenai hak politik buruh migran dan warga negara lainnya yang berada di luar negeri dan atau berada diluar provinsi tempat tinggalnya yang sedang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, baik karena kepentingan bekerja, belajar maupun kepentingan lainnya, yang menghendaki harus tinggal lebih lama tanpa harus mengubah status administrasi kependudukan mereka. Pada perhelatan pemilihan kepala daerah, posisi buruh migran dan warga negara lainnya yang ada di luar negeri dan atau diluar provinsi tempat tinggalnya menjadi kurang beruntung secara politik. Kenapa demikian?. Mari kita diskusikan. !
Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum, memberikan jaminan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk menyalurkan hak politiknya tanpa terkecuali, hatta buruh migran sekalipun. Hak politiknya dijamin mulai dari kegiatan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih ( baca : pasal 211) sampai penyiapan tempat pemungutan suara (pasal 63). Sederet peraturan teknis pun disiapkan guna memastikan hak politik warga negara yang ada diluar negeri dapat difasilitasi dengan baik, seperti menyiapkan peraturan KPU maupun peraturan Bawaslu.
Pertanyaannya ; kenapa di pemilihan kepala daerah hal ini tidak terjadi. Bukankah pemilihan apapun namanya, tidak akan merubah dan mengurangi eksistensi hak politik seorang warga negara?. Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2016, Peraturan KPU maupun di Perbawaslu, tidak ada pengaturan terhadap jaminan hak politik buruh migran maupun warga negara lainnya yang ada di luar negeri dan atau diluar provinsi. Jika jawabannya adalah karena problem anggaran dan SDM, tentu hal itu tidak relevan, karena di pemilu hal tersebut bisa ditangani. Menurut BPS, sekitar 46.187 orang buruh migran dari Nusa Tenggara Barat berada diluar negeri. Buruh migran ini berpotensi hak pilihnya hilang, karena tidak ada perhatian pihak terkait. Diskursus dan kajian-kajian yang mengurai hak politik buruh migran dan WNI di luar negeri di musim pilkada tidak banyak diangkat pemerintah maupun penyelenggara pemilu yang diberikan amanah menjaga hak politik warga negara. Padahal sumbangsih mereka terhadap pembangunan daerah sangatlah besar. Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transimigrasi Provinsi NTB tahun 2019, jumlah devisa buat daerah dari buruh migran mencapai angka Rp. 369 miliar. Besarnya divisa ini tidak diimbangi dengan perhatian yang serius oleh pihak-pihak terkait, khususnya menyangkut partisipasi politik mereka dalam pemilihan kepala daerah.
Potensi Diskriminasi dan Pengabaian Hak
Dalam regulasi yang mengatur pemilihan kepala daerah, tidak ditemukan aturan yang mewadahi eksistensi hak politik buruh migran maupun warga negara lainnya yang berada diluar negeri dan atau diprovinsi lain, baik karena kepentingan belajar maupun bisnis. Sebagai warga negara, buruh migran memiliki hak yang sama seperti warga negara lainnya. Dalam kontestasi pemilihan kepala daerah mulai dari pemutakhiran data pemilih sampai dengan pemungutan suara tidak ada ketentuan yang mengatur perihal jaminan dan mekanisme penyaluran hak politik buruh migran maupun warga negara lainnya yang ada di luar negeri. Keberadaan mereka apakah masuk dalam kategori pemilih tidak memenuhi syarat atau pemilih yang mempunyai hak pilih tidak jelas. Kondisi ini menyebabkan terbukanya potensi pengabaian hak politik bagi buruh migran. Jika dalam pemilu hak politik buruh migran diwadahi sejak pemutakhiran data pemilih sampai dengan penyediaan TPS untuk penyaluran aspirasi politik, namun dalam pemilihan kepala daerah tidak demikian.! Situasi ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah dan penyelenggara pemilu, yang diberikan mandat menjaga dan menjamin hak dan partisipasi politik warga negara tanpa kecuali.
Pemerintah dan penyelenggara pemilu sudah saatnya menaruh perhatian dan melakukan kajian melalui forum-forum diskusi, seminar dan konferensi terkait eksistensi, partisipasi dan saluran hak politik buruh migran pada pemilihan kepala daerah. Pelibatan mereka dalam pembahasan perencanaan pemilihan, kebijakan dan penyususnan regulasi mengenai pemilihan kepala daerah sesegera mungkin harus dilakukan. Selain melalui forum-forum resmi, pemerintah dan penyelenggara pemilu dapat meminta masukan buruh migran secara pribadi, perwakilan maupun melalui organisasi yang memiliki koncern pada isu buruh migran. Jika tidak, maka pemerintah dan penyelenggara pemilu berpotensi dipersalahkan atas dugaan lalai dan berlaku diskriminasi. Serta dapat dipersalahkan karena berpotensi menyalahi ketentuan undang-undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Merefleksikan situasi diatas maka menurut penulis menjadi penting bagi pihak terkait untuk mulai memikirkan langkah-langkah strategis membuat peta jalan guna terpenuhinya hak politik bagi buruh migran pada pemilihan kepala daerah.
Wallohualam bisshowab.
*Penulis adalah Ketua Lakpesdam PWNU NTB, Sehari-hari di Bawaslu Lombok Barat.