Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd |
Adalah sebuah eruption yang mengguncang dunia, ketika 300.000 orang pekerja melakukan aksi mogok kerja pada 1 Mei di pertengahan abad 19. Aksi tersebut menuntut penyesuaian waktu kerja dengan kapasitas physical pekerja. Saat itu, waktu kerja di Amerika Serikat antara 10 sampai dengan 16 jam per- hari. Dalam tuntutannya, para pekerja meminta agar waktu kerja maksimal menjadi 8 jam per hari. Selain aspek kapasitas physical pekerja, alasan gugatan tersebut adalah factor keamanan territory. Menurut pemberitaan laman “Industrial Workers of The world,” pada abad 19 di Amerika Serikat, cidera dan kematian di tempat kerja akibat kelelahan fisik dan keamanan adalah hal biasa.
Explode for the sake of the Explosion pada abad 19 yang dikemas dalam bentuk aksi para pekerja kemudian menjadi annual activity. Pada tahun 1860, pekerja di Amerika Serikat, mulai memperdebatkan upah minimum. Pada tanggal 1-4 Mei 1880, demonstrasi serupa kembali digelar. Pelataran hymarket Amerika Serikat menjadi saksi komitmen pekerja memperjuangkan nasibnya. Chicago History merilis bahwa ratusan masa aksi ditangkap dan 4 di antaranya dihukum gantung.
Menyikapi tragedi hymarket, atas proposal yang diajukan Raymond Lavigne, The International Socialist Conferences menyelenggarakan Kongres Buruh I pada tahun 1889 di Francis. Dalam kongres ini dibahas rancangan tentang hal-ikhwal pekerja, termasuk hubungan industrial dengan lembaga perusahaan, maupun tatanan pengupahan yang mempertimbangkan KLH (Kebutuhan Layak Hidup) para pekerja. Rancangan-rancangan sebagaimana diuraikan di atas kemudian dipertajam pada Kongres Buruh II di Chicago pada Tahun 1890. Pada Kongres Buruh II inilah kemudian ditetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional yang dirayakan di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Di tanah air, May Day atau hari buruh dan upah bagai dua sisi mata uang. Di tengah pandemic, para pekerja Indonesia di hari buruh mempertanyakan soal upah. Mereka berpendapat, tak mungkinlah pandemic di tanah air dijadikan alasan untuk tidak melaksanakan adat tahunan di dunia pekerja. Adat tahunan dimaksud adalah kenaikan upah dengan dasar laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Pengupahan ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015.
Pada tahun 2019, dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, kenaikan upah pekerja naik 8% yang merupakan akumulasi dari 5% laju pertumbuhan ekonomi dan 3% inflasi. Pada tahun 2020 ini, dengan merujuk regulasi yang sama, kenaikan upah pekerja diperkirakan sama dengan kenaikan pada tahun 2019. Menurut pandangan para pekerja, kenaikan upah dengan berdasar pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015, relative kurang berpihak kepada mereka. Para pekerja Indonesia merasa lebih diuntungkan jika pengupahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga-kerjaan.
Menurut Said Iqbal selaku Presiden Konfederasi Solidartas Pekerja Indonesia, pengupahan menggunakan standar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenaga-kerjaan lebih menguntungkan karena mengacu pada 60 komponen Kebutuhan Layak Hidup (KLH) para pekerja. Keenam puluh komponen tersebut meliputi: 11 item makanan dan minuman, 13 item sandang, 26 item perumahan, 2 item pendidikan, 5 item kesehatan, 1 item transportasi, 2 item rekreasi dan tabungan.
Mencemati dasar pertimbangan pengupahan, baik yang berorientasi pada laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi atau 60 komponen Kebutuhan Layak Hidup (KLH) pekerja, semuanya memosisikan upah sebagai sesuatu yang harus dibayar atau bahkan wajib ditunaikan. Persoalannya adalah pada besaran nilai tukar pengupahan. Dalam pertanyaan yang lebih operasional, persoalan pengupahan meliputi: 1). Apakah besaran pengupahan itu menjangkau pemenuhan kebutuhan hidup pekerja atau tidak? 2). Apakah pengupahan tersebut ditunaikan tepat waktu sesuai akad atau transaksi?
Dalam pandangan Islam, upah atau ujrah diposisikan sebagai sesuatu yang strategis. Firman Alloh SWT dalam QS. At-Taubah Ayat 105 menegaskan: ”Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Alloh dan Rasul-Nya, serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada Alloh yang Maha Mengetahui segala yang gaib atau yang nyata. Lalu kamu akan diberikan sesuatu menurut apa yang telah kamu kerjakan.
Dalam QS. An-Nahl Ayat 97 Alloh SWT juga menyatakan: “Barang siapa yang beramal sholeh, baik laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka mereka akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan berikan kepada mereka balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.
Dalam firman Alloh Ta’ala di atas sangat tegas dinyatakan bahwa dalam setiap transaksi kerja, para pekerja harus menunjukkan ketaatan atau disiplin dan niscaya menunjukkan produk kerja yang berkualitas. Sebagai penghargaan atau apresiasi atas kedisiplinan dan hasil kerja para pekerja yang memenuhi standar, para pemilik modal dan perusahaan wajib memberikan ujrah atau upah dalam besaran yang memuaskan.
Dalam Shahih Hadits Riwayat Ibnu Majah, khususnya terkait waktu pemberian upah atau fee menegaskan, “Berikanlah upah atau fee kepada buruh atau pekerja sebelum keringatnya mongering.”
Penegasan tentang pengupahan di atas menggambarkan keutamaan pemberian upah kepada para pekerja sesuai waktu kesepakatan pembayaran. Sementara itu, waktu pembayaran yang tebaik adalah ketika pekerja baru selesai mengerjakan seluruh rangkaian pekerjaan sesuai dengan kontrak yang disepakatinya. Pemberian gaji atau upah pada waktu yang tepat, utamanya ketika pekerja selesai bekerja akan menghadirkan kepuasan pekerja sekaligus meringankan pihak pemilik usaha.
Berdasarkan firman Alloh dan hadits di atas maka fee (upah) bagi para pekerja menurut Islam diberikan dengan besaran yang menjangkau pemenuhan Kebutuhan Layak Hidup pekerja dan waktu pembayarannya harus dipastikan tepat waktu sesuai akad atau transaksi. Dalam hal pemberian upah, eaktunya diupayakan sesegera mungkin setelah para pekerja menyelesaikan seluruh beban kerjanya.
Di lingkungan masyarakat Sasak tempo dulu, ujrah (fee) atau upah, sudah menjadi bagian dari mu’amalah antara pemodal atau pemilik usaha dengan pekerja. Salah satu model pengupahan di lingkungan Masyarakat Sasak adalah NYOLASIN. Model pengupahan ini Nyolasin, biasa diterapkan dalam sector kehutanan-perkebunan. Tatananya adalah. Seorang pekerja yang telah resmi bekerja pada seorang pemilik kebun atau pengelola hutan akan diberikan upah dengan besaran setiap mendapatkan sebelas produk ia akan mendapatkan 1 bagian dan 10 bagian untuk pemilik. Misalnya, seorang pemetik kelapa akan mendapat upah satu butir kelapa setelah berhasil memetik 11 butir kelapa. Jika dibuat perbandingan maka upah tersebut 10 banding satu atau sama dengan 9% dari total penerimaan pemilik atau pemodal.
Dalam tradisi Nyolasin sebagai bentuk pengupahan di lingkungan Masyarakat Sasak ini termasuk mempertimbangkan KLH (Kebutuhan Layak Hidup) pekerja. Dalam pengupahan model Nyolasin, pemilik usaha atau modal tidak hanya member ujrah (fee) atau upah dengan besaran 10 banding satu atau sama dengan 9% sesuai kesepakatan, tetapi pekerja diberikan makanan dan minuman selama kerja, termasuk oluk-oluk atau oleh-oleh yang disebut telok (beberapa buah terbaik hasil panen di lahan pemilik). Pemberian upah dan oluk-oluk ini pun pada saat pekerja selesai mengerjakan pekerjaan yang menjadi kewajibannya.
Maka sebagaimana tatanan pengupahan dalam Islam, Masyarakat Sasak tempo dulu juga benar-benar memberi upah dengan besaran yang menjangkau pemenuhan Kebutuhan Layak Hidup pekerja dan waktu pembayarannya dipastikan tepat waktu sesuai akad atau transaksi. Wallohu’lamu.
*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor dan tenaga pendidik di SMA NW Pancor.