WAWANCARA: Dekan FH Unram, Hirsanuddin saat diwawancara awak media. |
MATARAM--Kasus dugaan pencabulan mahasiswi oleh oknum dosen NIN, akhirnya sampai ke tingkat sidang Dewan Kode Etik Fakultas Hukum (FH) Universitas Mataram. Sidang berlangsung sekitar 1 jam lebih, Selasa (21/7).
Pantauan JEJAK LOMBOK, sidang dimulai sejak pukul 10.00 Wita dan berlangsung di lantai dua kampus itu. Sidang dipimpin langsung Ketua Dewan Kode Etik FH Unram, Prof. Zainal Asikin SH MH dan dihadiri belasan dosen yang tergabung di dalamnya.
Selama proses persidangan berlangsung, Dekan FH Unram, Dr H Hirsanuddin SH SU nampak wara-wiri di luar ruang sidang. Pria berambut putih ini nampak sedang memantau situasi yang terjadi di sekelilingnya.
Melihat orang nomor satu di fakultas itu, awak media yang sudah sejak awal berada di lokasi spontan mengerubungi. Sang dekan dicecar beragam pertanyaan.
Hirsan mengatakan, kasus ini merupakan yang pertama dilaporkan mahasiswi. Sebelumnya, kasus serupa belum ada laporan yang masuk ke pihaknya.
"Baru kali ini yang dilaporkan. Kalau ada yang laporkan lagi akan kita proses sama seperti persidangan hari ini," ucapnya.
Hasil sidang Dewan Kode Etik disebutnya menjadi rujukan putusan yang diambil selanjutnya. Pihak kampus sama sekali tidak berniat membawa kasus ini ke aparat penegak hukum (APH).
Menurutnya, sampai tidaknya kasus ini ke APH diserahkan sepenuhnya kepada korban. Jika yang bersangkutan membawanya ke ranah yang lebih jauh, pihaknya mengaku tidak masalah.
Yang pasti, pihak kampus juga tidak memfasilitasi mahasiswi yang menjadi korban dugaan pencabulan bantuan hukum. Semua proses penanganan masalah dilimpahkan ke Dewan Kode Etik.
Bagaimana dengan bantuan hukum terhadap terduga pelaku yang menjadi bagian pihak kampus? Terhadap pertanyaan ini, Hirsanuddin mengaku bantuan hukum terhadap NIN merupakan persoalan lain.
Dugaan pencabulan oleh oknum dosen ini menjadi preseden buruk bagi kampus itu. Namun demikian, pihak kampus belum berniat membuka posko pengaduan terkait persoalan serupa.
Dikonfrontasi terkait tidak adanya langkah preventif tersebut, Hirsanuddin menepisnya. Pihaknya sama sekali tidak ingin melindungi predator kelamin.
"Siapapun yang datang melapor (yang pernah dicabuli), silakan datang laporkan kepada kami," ucapnya.
Terhadap lontaran Dekan FH Unram ini, aktivis perempuan NTB, Endang Susilowati mengaku geram. Seharusnya pihak kampus membuat posko pengaduan terhadap kasus serupa.
"Karena bukan tidak mungkin kasus lain yang terjadi terhadap mahasiswi lainnya juga bisa terungkap," ucapnya.
Keengganan pihak kampus membuat posko pengaduan disebutnya terkesan menutup-nutupi kasus yang ada. Seharusnya, lebih terbuka agar predator kelamin yang bersarang di kampus itu bisa diberantas.
Kegeraman Endang belum selesai. Kasus dugaan pencabulan disebutnya sudah lama terdengar. Hanya saja, belum satu pun yang dibawa ke proses hukum.
"Dekan ini kurang perspektif soal perempuan. Yang jelas langkah kami akan terus mendorong agar posko pengaduan dibuka di kampus ini," ujarnya.
Aktivis perempuan lainnya, Rohani Inta Dewi menimpali, pihak kampus terkesan lepas tangan dengan kasus ini. Buktinya, tidak ada upaya preventif yang dilakukan seperti membuka posko.
"Kalau seperti ini, bukan tidak mungkin kasus serupa bisa saja terus terjadi," ujarnya.
Demi mengawal kasus ini, pihaknya telah menerjunkan aktivis lainnya membuat petisi. Pihaknya juga membentuk tim pencari fakta.
Sejatinya, terangnya, pihak kampus harus mencegah semua potensi kasus predator kelamin. Dugaan insiden yang menimpa kasus mahasiswi yang sedang mencuat ini jangan sampai berulang.
"Kalau seperti ini, pihak kampus lebih senang mengobati ketimbang mencegah penyakit yang ada," ucapnya.
Di sela-sela menunggu proses sidang kode etik selesai, mahasiswi yang diduga sebagai korban datang. Ia ditemani seorang perempuan sebayanya.
Mahasiswi yang diduga sebagai korban ini datang sekitar pukul 11.01 WITA. Saat menaiki anak tangga lantai dua, beberapa orang dari pihak kampus tampak mengawalnya. Ia juga mendapat pengawalan cukup baik dari keamanan kampus dan langsung memasuki salah satu ruangan di kampus itu.
Tak berselang lama, tepatnya pukul 11.04 WITA. Oknum dosen terduga pelaku pencabulan bergegas menuruni tangga selepas keluar ruang persidangan. Awak media yang menyaksikan itu kontan berlarian mengejar.
Selama dalam kejaran awak media, terduga pelaku berinisial NIN ini hanya merunduk. Langkahnya yang cepat dengan wajah ditutupi masker hitam itu tak sepatah pun memberikan keterangan dari pertanyaan awak media.
Beruntung saat dalam kejaran, pihak keamanan kampus yang mengawal oknum dosen ini diarahkan menuju lorong yang tidak bisa diakses wartawan. Pintu lorong yang dilewati oknum dosen ini langsung ditutup agar yang bersangkutan tidak menjadi sasaran hujan pertanyaan.
Masih di kampus FH Unram, anggota Badan Konsultasi Bantuan Hukum FH Unram, Joko Jumadi mengatakan, korban dan pihak keluarga hingga saat ini belum mengubah pendiriannya. Mereka belum berniat membawa kasus ini ke ranah hukum.
"Belum ada perubahan. Korban hanya meminta agar dosen pembimbing skripsinya diganti saja," ucapnya.
Terpantau hingga pukul 12.00 WITA, Dewan Kode Etik FH Unram tak satu pun yang keluar dari ruang sidang. Mereka masih betah berlama-lama di ruang tempat NIN disidang.
Terpisah, Ketua Dewan Kode Etik Unram Prof Zainul Asikin menyebut persidangan tuntas sekitar pukul 12.00 WITA. Dalam sidang itu, ada tiga putusan yang diambil.
Putusan pertama, NIN terbukti melakukan tindakan asusila setelah mengakui perbuatnnya. Kedua, ia dicopot dari jabatannya sebagai Sekretaris Bagian di jurusan Hukum Pidana FH Unram.
"Terakhir, kita skorsing sebagai pengajar selama lima tahun. Yang bersangkutan akan melanjutkan kuliahnya," katanya.
Dikonfrontasi soal skorsing sebagai akal-akalan kampus, Asikin memastikan, keinginan NIN bersekolah menyelesaikan doktoralnya bukan akal-akalan. Ini karena niat melanjutkan studi merupakan keinginannya sendiri, bukan dari beasiswa kampus.
Asikin menegaskan, hasil putusan yang diambil Dewan Kode Etik dipastikan mulai efektif berlaku. Putusan itu mulai dilaksanakan sejak putusan ditetapkan. (jl)