Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd |
“Dasar lidah tak bertulang,” terlalu gampang berteriak lantang. Kadang kemudian jadi boomerang. Kadang pula menjadi tabuhan genderang pembakar semangat juang yang garang. Lidah benar-benar lebih tajam dari mata pedang. Berwatak menggores, merobek, bahkan memotong. Ada baiknya untuk lebih berhati-hati sebelum menguntai kata. Teledor sedikit saja, maka “mulutmu harimaumu!”
Lidah yang tak bertulang memang gampang melantunkan dendang. Dalam waktu tertentu, lantunan lidah sangat berlimpah. Menurut ahli, lidah wanita dapat melantunkan 16.000 – 21.000 kata per 24 jam. Sedangkan lidah laki-laki hanya bisa menyebut 5.000 – 9.000 kata per 24 jam.
Bayangkan saja kalau ada seorang perempuan berdialog dengan seorang laki-laki dalam satu hari, maka akan terakumulasi 21.000 – 30.000 kata. Dalam bahasa tulisan, jumlah karakter kata yang sedemikian itu setara dengan panjang skripsi mahasiswa S1, yakni 60 sampai 120 halaman. It’s amazing.
Betapa produktif lidah membidani kata, akhirnya ungkapan yang menyatakan, “numpang berbagi pesan bisa bertambah, nitip uang jarang tak berkurang,” menjadi tak tertolak. Sifat produktif itu pun sekaligus menjadi lampu kuning. Sekian banyak kata yang bisa tercetak lisan, tentu tidak sedikit yang keceplosan. Jika segera disadari dan diiringi dengan permohonan maaf, maka situasi akan terkendali. Namun ketika tidak segera mengemuka kesadaran untuk menetralisir akibat sosialnya, situasi bisa memblunder dan mungkin memicu chaos.
Tidak sedikit sejarah bertutur tentang dahsyatnya akibat lisan yang terlalu lumer memainkan kata. Negara Maghada milik Candra Ghufta Mauria akhirnya melemah karena fitnah. Perselingkuhan Nur putri Khurasani dengan Pangeran berdarah Romawi menjadi gorengan yang lezat bagi Ratu Penyihir Carumitra. Persekongkolan Helena – Carumitra yang bersifat sesaat dan putus nyambung, kerap kali mengelola issue membangun zhon Raja Windu Shara untuk menggulingkan permaisuri Dharma bunda Ashoka.
Di kerajaan besar Nusantara, seperti Maja Pahit, kasus – kasus seperti di Maghada pernah terjadi dan sulit terkendali. Sentra sebabnya adalah politik kepentingan. Sanggrama Wijaya yang begitu agung dan bijak di eranya, tidak mampu membedakan antara sebuah fitnah dengan amanah. Bayangkan saja, fenomena yang membangun ambigu tersebut terjadi di antara pengikut setianya. “Bagai si Malakama,” akhirnya Raja Sanggrama Wijaya dengan berat menghukum Ronggolawe, Lembu Sora, Maha Patih Nambi, Gajah Biru, dan lain-lain yang secara pribadi ia ragukan melakukan kesalahan sebagaimana dalih yang digunakan menentukan hukuman mereka.
Di Indonesia, isuue pernah menggiring bangsa menapaki revolusi ideology. Adalah Partai Komunis Indonesia yang telah menebar issue tentang Dewan Jenderal sebagai perancang aksi kudeta untuk menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang syah. Issue tersebut kemudian berhasil mencuci otak sebagian bangsa kita. Inilah modal dasar yang kemudian dimobilisasi Partai Komunis Indonesia untuk membungkam para jenderal dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Para jenderal yang mulia itu pun kemudian gugur bersimbah darah akibat kebiadaban Partai Komunis Indonesia. Tuhan pun tak pernah tidur dan ia menjadikan sumur tua Lubang Buaya menjadi saksi sejarah yang tak mungkin dibungkam. Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Soeharto kemudian memimpin pengejaran PKI hingga pembubarannya. Supersemar 1966 pun kemudian terbit sebagai sumber hukum berakhirnya era Orde Lama yang syarat penyimpakan ideology, teutama oleh faham komunis. Besamaan dengan itu lahirlah tatanan baru dan dikenal dengan era Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Sejarah yang dialami beberapa negara-negara tersebut di atas, menggambarkan betapa issue, dusta, dan ghibah, merupakan mesin penghancur yang menakutkan. Dalam Islam, issue,dusta, dan atau ghibah sangat dikecam. Dalam Q.S al-Hujarat Ayat 12 Alloh Ta’ala berfiman: “ Hai orang-orang yang beriman, jauhkan diri kalian dari prasangka. Sesungguhnya sebagian prasamgka itu adalah dosa. Oleh karena itu janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan jangan pula menggunjing sebagian saudaramu. Kiranya sudikah kalian memakan daging saudara kalian yang sudah mati? Tentulah kalian akan merasa jijik. Bertaqwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha penerima Taubat dan sungguh menjadi sumber Maha Cinta.
Dalam ayat di atas menggunjing, ghibah, menebar issue Alloh setarakan dengan memakan daging busuk manusia yang sudah meninggal. Dalam sebuah tafsir dijelaskan bahwa ketika sebagian muslim menjadi korban pergunjungan, ghibah, atau penebaran issue, mereka dalam keadaan tidak tahu dan secara otomatis tidak akan punya kemampuan untuk membela diri. Oleh karena itu mereka diam, tak ubahnya seperti mayat. Inilah yang kemudian menjadi sebab Alloh menyetarakan perbuatan menggunjing, ghibah, dan menebar issue dengan memakan daging sesama muslim yang sudah mati. Dan itulah makna penegasan dalam ayat di atas yang mempertanyakan: “Kiranya sudikah kalian memakan daging saudara kalian yang sudah mati?”
Dalam beberapa hadits diriwayatkan bahwa: Rasululloh SAW besabda: “ Sessungguhnya Riba yang paling berbahaya adalah berpanjang kalam dalam membicarakan keburukan seseorang dengan cara yang tidak benar (HR. Abu Daud). Dalam Riwayat lain dijelaskan: “ Suatu ketika, kami bersama Nabi dan tiba-tiba kami mencium bau daging busuk, dan kemudian Rasululloh SAW bertanya, Tahukah kalian, bau apakah ini? Kemudian Rasululloh menjelaskan lagi: ini adalah bau orang-orang yang mengghibah orang-orang mu’min (HR. Ahmad).
Kalau orang-orang yang menggunjing, ghibah, menebar issue sangat dikecam dalam Islam, maka orang yang terpelihara dan jauh dari hal-hal tersebut mendapatkan penjaminan masuk surga. Dalam sebuah Riwayat dijelaskan: “Barang siapa yang dijaga oleh Alloh dari keburukan yang ada di antara dua rahang (mulutnya) dan dosa yang ada di antara selangkang (kemaluannya), maka ia dijamin masuk surga (HR. Tirmizi).
Dalam kultur Sasak, menggunjing, ghibah, dan menebar issue, ternyata mendapat kecaman yang hebat. Kecaman dalam kultur Sasak tersebut dikemas dalam dialog peran yang ringan. Memang tampak enteng, tetapi makna esensial kecaman itu bernada sarkasme. Dari awal dialog peran memberikan tekanan dan semakin ke akhir semakin kasar sehingga bisa jadi menimbulkan rasa hina bagi tokoh peran penggunjing, pengghibah, atau penebar issue.
Adapaun dialog peran tersebut diberi label “Put-Put Kkotok.” Rangkaian kata dalam label itu sesungguhnya merupakan tiruan bunyi. Put-Put itu adalah tiruan bunyi rotan yang dimainkan di atas udara sebagai sayap dalam legenda Tu Se Lak (leak) sehingga menimbulkan bunyi wut-wut-wut. Sedangkan Klotok itu adalah tiruan bunyi kalung sapi yang dalam bahasa Sasak dikenal dengan krotok. Dalam dialog peran yang berisi kecaman terhadap tokoh peran penggunjing, pengghibah, atau penebar issue ini, Put-Put Klotok sebagai sampiran yang digandeng dengan kalimat Ape gawe memontok ( apa gunanya engkau ngerumpi sambil saling bersihkan kutu hai para perempuan). Untuk lebih jelasnya, dialog peran tersebut adalah sebagai berikut:
Put-Put Kkotok
Ape gawe memontok
Be ku beketume so
Beketume jak kamu, uler sedokbi
Uler jak sedokku be kungaken gule so
Ngaken gule jak kamu, panas barangan kamu
Panas barangan aku, ba ku nginem so
Nginem jak kamu, mele kamu menek
Mun kumele Menek be ku jok reban so
Lamun bi jok reban, jujukne kamu isik indung epang.
Dialog peran yang sesungguhnya dibuka dengan rasa tak bersalah melakukan pergunjingan oleh para perempuan yang ditunjukkan dengan kalimat “Be ku beketume so,” langsung dipangkas oleh tokoh kebaikan dengan kalimat yang lugas, yakni “Beketume jak kamu, uler sedokbi”. Dalam makna inplisit peran kebaikan mempertanyakan kepada penggunjing dengan sebuah pernyataan “ perbuatannmu ini seperti makan daging sesama dan pasti kamu akan jijik . Dalam dialog berikutnya, penggunjing selalu berdalih untuk membenarkan pergunjingannya. Terakhir para penggunjing berdalih, Kami tidak akan berhenti sebelum bisa mempengaruhi setiap orang dengan menebar gunjingan. Penegasan itu mereka nyatakan dengan kalimat: “Mun kumele Menek be ku jok reban so.” Akibat dari sifat keras kepala para penggunjing, akhirnya tokoh dialog peran kebaikan mengeluarkan kalimat pamungkasnya, “Lamun bi jok reban, jujukne kamu isik indung epang (memang kupu-kupu malam seperti kalian pantasnya memakan bangkai dan minum nanah yang busuk). Nalar Sasak dalam memerangi ghibah atau pergunjingan memang betul-betul tegas. Wallohu’alamu.
*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor, dan tenaga pendidik di SMA NW Pancor.