HEARING: Aktivis perempuan NTB saat hearing di rektorat Unram mendesak dibuat posko pengaduan aksi pencabulan. |
MATARAM--Masih terngiang kasus pencabulan mahasiswi bimbingan skripsi yang dilakukan oknum dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram. Kasus pencabulan oknum dosen ini mencuat di medio Juli 2020 lalu.
Terhadap kasus ini, Koalisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan NTB memberi atensi serius. Koalisi yang terdiri dari sejumlah aktivis perempuan ini mendesak pihak kampus segera membentuk posko pengaduan terhadap kasus serupa.
"Kita dukung hasil rekomendasi Dewan Kode Etik untuk membentuk posko pengaduan," kata perwakilan koalisi, Beauty Erawati dalam pernyataan sikapnya, Senin (27/7).
Bagi para aktivis perempuan ini, terbentuknya posko pengaduan merupakan bentuk langkah preventif pihak kampus. Selain membongkar kasus pencabulan yang terpendam, juga menekan potensi kasus serupa di masa datang.
Bagi Beauty, dengan adanya posko pengaduan, kedepan kampus Unram jauh lebih aman dari aktivitas predator seksual. Mahasiswi yang berkuliah juga akan lebih nyaman.
Senada juga disampaikan aktivis perempuan lainnya, Endang Susilowati. Ia mengatakan, pembentukan posko pengaduan sebagai upaya memperkuat hasil sidang Dewan Kode Etik Fakultas Hukum Unram. Usulan pembentukan posko ini ditindaklanjuti dengan menggelar hearing di rektorat Unram hari ini.
Dalam hearing itu, lanjutnya, pihak kampus diminta menjalankan amanat sidang Dewan Kode Etik. Salah satunya yakni terkait skorsing selama 5 tahun terhadap oknum dosen pelaku pencabulan.
Selain itu, terangnya, para aktivis perempuan mendesak agar pihak kampus menyediakan ruang khusus bagi mahasiswa skripsi. Di ruang tersebut harus pula disediakan kamera pengawas CCTV.
Langkah para aktivis ini, lanjutnya, lantaran setelah kasus pencabulan mahasiswi berinisial Y diungkap, ada dua korban kasus serupa yang melaporkan hal sama. Dimana dalam dua kasus itu pelaku pencabulan masih oleh oknum dosen yang sama, yakni NIN.
"Kita harap segera ditindaklanjuti hasil hearing kita. Ini demi kebaikan Unram juga," tegasnya.
Terpisah, Ketua Dewan Kode Etik Fakultah Hukum Unram, Prof. Zainal Asikin membenarkan adanya dua kasus lain yang terjadi. Hanya saja, salah satu korban sudah menikah.
"Oleh korban meminta agar kasusnya tidak dipublikasi. Pelakunya oleh dosen yang sama. Korban yang satunya lagi sudah tamat," ujarnya.
Terhadap aksi dengar pendapat yang dilakukan para aktivis ini, Asikin mengaku berterima kasih. Kehadiran para aktivis perempuan disebutnya sebagai support atas kasus yang terjadi.
Bagi Asikin, pembentukan posko sangat bagus demi nama baik lembaga pendidikan Unram. Dengan adanya posko tersebut, paling tidak kasus serupa tidak terulang..
"Kita intensifkan pengaduan ini lewat LBH fakultas. Ini penting agar penanganan kasus ini tidak terlambat," tegasnya. (jl)