Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd |
Bang Iwan Fals menuntun dengan santun dalam lantunan yang berlabel Negara. “Bebaskan kami dari bea pendidikan dan kesehatan. Ciptakan lapangan kerja dan rawatlah martabat Negara dengan sikap berkeadilan. Semuanya bagian dari esensi keberadaan Negara. Tidak ada alasan untuk menolak karena kita, Negara, dan manusianya kaya. Inilah fakta yang menjadi salah satu file memori anak bangsa. Kata pak Umar Bakri, “hanya saja, kita tak pandai mengelolanya.” Inilah perlunya Negara mengusung kemerdekaan belajar. Agar kita tak mudah dibodohi. Agar kita memiliki kemampuan sebagai professional yang berdaya saing hingga memiliki penghasilan yang layak. Ujungnya, kita akan menjadi sehat dan kuat membela kedaulatan Negara. Ini adalah keniscayaan. Kalau Negara abai, nanti kuadukan kepada sang sepi atau kalau tidak, bubarkan saja! Ini memang tugas negara. Dia tempat kita bersandar selain Tuhan."
Negara lanjut menyahut dengan untaian Pembukaan UUD 1945, tepatnya pada alenia keempat yang pada pokoknya menyebut tekad mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada batang tubuh UUD 1945 pasal 27 pun Negara tidak luput terhadap kewajibannya memberikan pendidikan yang layak dan patut bagi kemanusiaan. Namun karena revolusi setengah matang, krisis moneter, reformasi yang tak tuntas, dan keadaan luar biasa, termasuk korupsi, serta dinamika politik, implementasi dari sahutan Negara menjadi terkendala.
Tidak berarti Negara tidak konsisten dan tidak memiliki catatan biru dalam memfasilitasi kemerdekaan berpendidikan. Yang pasti adalah masih banyak capaian-capaian yang harus diwujudkan dalam dunia pendidikan dengan kehadiran Negara. Namun demikian, penyelenggaraan pendidikan masih jauh dari ekspektasi sebagaimana sahutan dalam UUD 1945. Menurut teori fungsional, keadaan ini lebih pada ketidak-optimalan dalam, goal attainment, adaftation, integration, and latency. Dalam teori lain, keadaan yang penuh tantangan ini bisa jadi karena ketak-sebangunan tujuan penyelenggara dengan Negara. Sementara itu, dalam grand theory pengembangan organisasi, kondisi ini berawal dari kegagalan membangun interaksi, aktifitas bersama, dan sentiment positip terhadap program pendidikan.
Dalam pandangan Islam, menjamin kemerdekaan berpendidikan atau belajar ini mendapat perhatian yang sangat luar biasa. Penjaminan ini karena alasan-alasan mendasar, antara lain bahwa: Islam adalah ajaran yang menghendaki para pemeluknya harus, bahkan wajib cerdas dan tercerahkan. Islam berkeyakinan bahwa tanpa kecerdasan dan ketercerahan, manusia tidak mengenal Tuhannya. Jika manusia tidak mengenal Tuhannya, bagaimana dia memiliki iman yang kuat? Kecerdasan dan ketercerahan sendiri hanya dapat terbengun di atas al-aqlus-salim (QS. At-Thuur Ayat 35). Itulah sebabnya Alloh menciptakan manusia dengan sesempurna-sempurna ciptaan (QS. At-Thien Ayat 4).
Selain tidak akan beriman, manusia tanpa kecerdasan dan ketercerahan tidak memiliki rasa takut kepada Pencipta. Secara otomatis, manusia yang tidak takut kepada-Nya karena tak dilengkapi kecerdasan dan ketercerahan, tidak akan melaksanakan kepatuhan sesuai tuntunan syar’i. Alloh SWT dengan sangat terang dan tegas dalam QS. Al-Fathir Ayat 28 memperingatkan bahwa “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa adalah mereka dari golongan cerdik-pandai atau para ulama.”
Muatan wahyu di atas tentu akan menjadi sense of academic crisis bagi setiap orang-orang beriman. Reason yang meniscayakan adanya “kegalauan” ini adalah fakta yang menunjukkan tidak sedikitnya individu dan komunitas yang masih dalam posisi underdevelopment. Sebagai sebuah ilustrasi yang dapat dicermati adalah: bahwa di Indonesia masih focus pada penuntasan wajib belajar 9 tahun. Artinya: masalah esensi penguatan kecerdasan dan ketercerahan SDM melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi, terutama perguruan tinggi masih jauh dari expectation (harapan).
Menawarkan kegalauan akademik (sense of academic crisis) sebagaimana yang diterangkan secara inplisit di atas, tentu harus dengan melaksanakan effort (ikhtiyar) yang lebih serius dalam program konsolidasi pendidikan. Salah satu indicator keseriusan dalam konsolidasi pendidikan adalah melaksanakan pendidikan dengan system terbuka dan multi-makna. Sementara itu, ciri konsolidasi pendidikan yang terbuka dan multi-makna adalah berusaha menghilangan hambatan untuk memperoleh pendidikan yang layak dan memperkaya jalur memperoleh kesempatan belajar bagi setiap warga negara.
Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan multi-makna senafas dengan kebijakan “medeka Belajar.” Kebjakan ini sesungguhnya berbanding lurus dan searah dengan pandangan Islam. Penegasan-penegasan tentang hal-hal terkait dengan kebijakan “Merdeka Belajar,” khususnya mengenai kewajiban membuka akses seluas-luasnya bagi setiap individu, sangat banyak dimuat dalam al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW.
Alloh SWT berfirman dalam QS. Al-Ma’idah Ayat 67, “Wahai Rasululullah SAW, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu. Jika kamu tidak melaksanakannya, berarti kamu telah berhianat atau tidak amanah. Alloh memelihara kamu dari gangguan manusia. Alloh pun tidak memberikan petunjuk bagi orang-orang yang kafir.
Ayat di atas sangat jelas menguraikan tentang larangan menyembunyikan sebuah risalah yang datang dari Alloh SWT. Semua isi ajaran harus dan wajib disampaikan kepada ummat oleh Rasul sebagai penyampai yang dipilih Alloh. Menyembunyikan atau tidak menyampaikan risalah dipandang setara dengan menghalangi ummat mendapatkan akses memperoleh kesempatan belajar. Dalam ayat di atas juga terdapat penjaminan yang sangat khusus untuk Rasululloh SAW. Jaminan tersebut adalah keamanan dan kenyamanan bagi Rasul SAW dalam menyampaikan risalah. Aloh SWT juga meyakinkan Rasul SAW bahwa Dia tidak akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang ingkar atau kafir.
Firman Alloh SWT dalam QS. Al-Baqarah Ayat 159-160 lebih tegas menguraikan ancaman bagi siapa saja yang menyembunyikan ajaran Islam dengan maksud secara sengaja atau tidak menutup akses memperoleh kesempatan belajar bagi ummat. Firman tersebut menyatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan, utamanya terkait dengan keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, akan dilaknat Alloh dan oleh mereka yang melaknat. Hanya orang-orang yang bertaubat, memperbaiki diri, serta menyampaikan kebenaran, yang terbebas dari laknat. Merekalah orang-orang yang diterima taubatnya dan Alloh-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Dalam tafsir Ibnu Katsir, firman Alloh di atas secara khusus mengancam ahlul kitab yang berusaha menyembunyikan sifat-sifat kenabian dan kerasulan Muhammad SAW. Tentu hal ini sangat menyentuh persoalan keimanan ummat. Akibat fatal dari sikap buruk ahlul kitab di atas adalah membungkam petunjuk Alloh dengan cara menyembunyikannya sehingga ummat tidak mengenal Rasul Alloh. Dengan dalih apa pun, tidak bisa ditolak bahwa perbuatan ahlul kitab ini menutup peluang bagi ummat untuk beriman kepada nabi utusan Alloh SWT. Maka oleh sebab itulah ahlul kitab diancam Alloh SWT dengan laknat-Nya dan laknat seluruh makhluk di muka bumi. Ancaman yang sedemikian hebat ini tentu menjadi pembelajaran bagi kita ummat Rasululloh SAW. Kalau ahlul kitab saja diancam keras dengn sikapnya tersebut, lalu bagaimana kiranya kita sebagai ummat Muhammad SAW jika menyembunyikan atau tidak menyampaikan risalah Islam? Jika saja ada laknat yang jauh lebih hebat, maka itulah ancaman yang sangat adil bagi muslim yang dengan segaja atau tidak menyembunyikan atau tidak menyampaikan risalah Islam.
Tafsir ini senada dengan hadits Rasululloh SAW yang diriwayatkan dalam HR. Ibnu Majah Juz 2 Nomor 263/ HR. Abu Daud at-Tirmizi dan al-Hakim yang menegaskan: “ Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasululloh SAW menyatakan “Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu, kemudian dia menyembunyikannya, maka dia akan diikat dengan ikatan dari api neraka.
Dari sisi penerima petunjuk atau ummat, Alloh dengan sangat bijaksana memberikan peringatan yang senada dengan para penyampai, termasuk kehadiran penguasa. Ummat yang mengabaikan risalah, termasuk golongan orang-orang yang dicatat untuk mendapatkan sanksi sebagaimana sikap abainya terhadap usaha pencerdasan dan pencerahan. Alloh SWT dalam QS al-Ahzab ayat 34 mengatakan: “ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu, baik ayat-ayat maupun sunnah Rasulullah SAW. Sesungguhnya Alloh Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.
Sebagaimana Islam, masyarakat Sasak klasik juga memiliki pandangan khusus terhadap pentingnya kehadiran Negara dan kepedulian ummat dalam memfasilitasi kelancaran kemerdekaan berpendidikan atau merdeka belajar. Pandangan dimaksud tentu berbasis pada suasana perjalanan pengalaman yang mereka alami. Masyarakat Sasak berproses bersama pengalaman sejarahnya, termasuk dengan sejarah pencerdasan dan pencerahan. Menurut catatan orang-orang Belanda, pendidikan di Lombok sampai awal abad XX berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang bertindak selaku konsumen pendidikan. Perbandingan itu menunjukkan layanan dan fasilitasi pendidikan jauh lebih kecil daripada jumlah konsumen pendidikan.
Data pertumbuhan dan keterbatasan pendidikan dalam catatan peneliti Belanda di awal abad XX menunjukkan bahwa: 1). Pada tahun 1910 terdapat 3 The Gouvernement Inlandsche School (sekolah pribumi pemerintah untuk anak kepala desa, pejabat rendah, dan tuan-tuan tanah) dengan Jumlah murid 195. 2). Pada tahun 1920 terdapat 7The Gouvernement Inlandsche School dengan jumlah murid 1057. 3). Pada tahun 1930, Hollansch Indische School (Sekolah Belanda Indonesia untuk anak pejabat Belanda, Bali, dan Sasak) berjumlah 1 dengan jumlah murid 197. 4). Pada tahun 1940 Hollansch Indische School (Sekolah Belanda Indonesia) berjumlah 1 dengan jumlah murid 240. Sementara sekolah desa atau Volkschollen pada tahun 1910 berjumlah 10 dengan murid 650, pada tahun 1920 berjumlah 13 dengan murid 1092, pada tahun 1930 berjumlah 49 dengan murid 3142, dan pada tahun 1940 berjumlah 76 dengan murid 9535 orang. Bedasarkan data statistic pendidikan tahun tersebut, anak usia sekolah 6 – 12 tahun di Lombok yang mendapatkan kesempatan pendidikan seadanya adalah antara 2% sampai 7,1 % dari total yang semestinya memperolah layanan pendidikan.
Angka-angka ini tentu sangat menyedihkan. Penguasa tidak hadir dengan serius memberikan kemerdekaan belajar, apalagi dengan prinsip keterbukaan dan multi makna. Bagi masyarakat Sasak hal ini diuraikan dalam pandangan klasiknya dengan metafora “ Ensat Aik Segare Mate Kecial Kuning.” Maknanya adalah, penguasa yang dengan sengaja atau tidak, menutup akses memperoleh kemerdekaan belajar dan berpendidikan berarti telah membunuh sumberdaya manusia.
Pandangan klasik ini menggambarkan, betapa masyarakat Sasak sedari dulu memiliki sikap kritis terhadap sikap buruk penguasa dan siapa saja terhadap usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Pandangan ini hadir karena masyarakat Sasak sadar dan yakin bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan langkah awal dalam berproses mengubah wajah dunia menjadi cerah dan bersinar. Wallohu’alamu.
*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor dan Tenaga pendidik Di SMA NW Pancor.