Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd |
(Kritik Klasik Masyarakat Sasak Terhadap Kasus Perilaku Politik yang Terpasung)
MENGURAI soal politik harus otak-atik taktik. Siapa tahu ketiban untung dan jadi tersanjung. Jangan sampai salah walau sedikit, karena bisa mengundang penyakit. Persoalannya sederhana saja. Tidak sedikit orang alergi dan begitu pula yang ngiler terhadap politik. Colekan-colekan analis yang sedikit mengiris akan memicu galau politisi. Kegalauan ini kerap kali menjadi jalan pintas mengantar analis ke meja hijau, atau mungkin sampai di balik jeruji.
Apapun resikonya, diskursus tentang politik dan perhelatannya tak pernah berkurang. Pemerhati dan institusi yang focus membahasnya justeru semakin bercabang dan statistiknya makin terbang menjulang. Kata kunci trigger-nya adalah fakta bahwa politik selalu unik dan nyentrik. Banyak orang bilang, “gak asyik tanpa trick politik. Banyak pula yang memekik, “ politik memang licik!” Pandangan-pandangan ini menjadikan politik patut disandingkan dengan puji, caci, bui, dan mati. Pandangan pro dan kontra ini ternyata menjadi bahan bakar meninggikan tempratur al-gazwu al-fikr (perang pemikiran) yang secara otomatis memberi ruang dan peluang bagi konstelasi politik untuk memuai dan menggeliat.
Sebegitu seksikah politik itu? Pertanyaan ini menjadi penting diajukan, terutama untuk mengurai sisi strategis politik bagi hampir seluruh stratifikasi dan kelas social. Menjawab pertanyaan terdahulu tentu harus seksama, tuntas, dan dengan pendekatan yang integrative – inter-connective. Jika tidak, maka jawaban yang mengemuka akan cenderung subjective dan sangat mungkin narrow minded. Oleh sebab itu perlu kiranya kita merumuskan jawaban dengan mengambil pintu masuk melalui langkah mengajukan beberapa konsep-konsep dasar dari berbagai sudut pandang tentang politik.
Jhon M Echols dan Hasan Shadly, dalam Kamus Indonesia Inggris ( an Indonesian-English Dictionary Edisi Ketiga yang diperbaharu oleh PT Gramedia Jakarta tahun 2002), halaman 486 menjelaskan bahwa: Politik secara etimologi berasal dari kata “politicos” Bahasa Yunani. Dari kata“politicos” ini kemudian menjadi kata “ politiek” dalam Bahasa Belanda, dan kata “politics” dalam Bahasa Inggris. Kata ini kemudian diartikan sebagai suatu proses dari, oleh dan untuk, atau yang berkenaan dengan warga Negara. Pada bagian selanjutnya, kata tersebut dijelaskan sebagai sebuah proses pembentukan dan sharring atau pembagian kewenangan dan kekuasaan dalam kerangka perumusan keputusan.
Deskripsi di atas menggambarkan peran penting politik mensinergikan potensi warga Negara dan bangsa untuk mengejawantah-kan ekspektasi bersama. Politik dalam konsep ini memosisikan seluruh stratifikasi dan kelas social memiliki peran yang niscaya difungsikan. Peran-peran masing-masing stratifikasi dan kelas social dimaksud kemudian diformulasikan menjadi goal yang dalam pencapaiannya harus melalui adaftasi dan integrasi, serta seluruh produk-produknya wajib dipelihara, bahkan ditumbuh-kembangkan di era berikutnya.
Politik dalam pandangan Islam juga turut memberikan pencerahan. Salah satu pandangan itu adalah sebagaimana pendapat Ahmad Warson Munawwir dalam Kamus Al-Munawwir Arab-Indoneia Terlengkap, yang diterbitkan di Yogyakarta oleh Pustaka Progresssif pada tahun 1997, tepatnya pada halaman 677. Ahmad Warson Munawwir menjelaskan bahwa politik dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Sementara itu, dalam beberapa kitab para tokoh ilmu pengetahuan, istilah siyasah digandeng dengan syar’iyah sehingga menjadi “siyasah syar’iyah”. Dalam Al-Munawwir dan Al-Muhith, kata siyasah berakar pada kata sasa - yasusuha - siyasah yang berarti qama alaiha waradaha wa adabiha yang setara dengan mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya. Sedangkan bila dipadu dalam kalimat sasa al'amr akan berarti dabbarahu atau mengurus dan mengatur sebuah perkara.
Adalah hal yang wajib ada, bila politik itu benar-benar seperti pandangan Islam di atas. Bagaimana tidak, jika politik bertindak mengorganisasi seluruh potensi hingga menjadi berdaya dan berhasil guna. Bagaimana tidak, jika politik adalah bentuk usaha memberikan perlakuan terhadap seluruh potensi hingga memiliki daya saing yang tinggi. Bagaimana tidak, jika politik mengambil peran melakukan restorasi dan atau islahul ummah. Bagaimana tidak, jika politik berusha untuk mengelola setiap konflik hingga mentranformasinya menjadi kekuatan yang kokoh sebagai pijakan berfastabiqul khairat dan berproses menjadi fil-khair.
Albernethy dan Coombe dalam Buku Allan Bloom pada tahun 1987 yang berjudul ” Closing of the American mind New York, yang ditulis oleh Simon and Schuster, tepatnya pada halaman 380 yang dikutip oleh Sunarso, menyatakan: Éducationand politics are inectricably lingked” yang artinya: Pendidikan dan politik adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam ulasan yang lebih dalam, Albernethy dan Coombe menjelaskan bahwa pendidikan dan politik, setidak-tidaknya saling mempengaruhi melalui beberapa aspek, antara lain: pertama, pembentukan sikap kelompok, kedua, masalah pengangguran, dan ketiga: peranan politik kaum cendekia. Dinyatakan lebih lanjut bahwa: ”Kesempatan dan prestasi pendidikan suatu kelompok dapat mempengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi.”
Berdasarkan fakta-fakta, teori yang dibangun oleh Albernethy dan Coombe tersebut sulit terbantahkan. Bagaimanapun, inti teori ini adalah pembenaran terhadap kehadiran kemuliaan bagi orang dan atau kelompok yang kuat dan istiqomah mengembangkan diri dan ummat melalui jalur kependidikan, seperti firman Alloh SWT dalam al-qur’an surat al-Mujadalah ayat 11, yang artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, jika diminta kepadamu, berilah tempat di majelis, maka berilah keluasan kepadanya, Alloh akan memberimu keluasan. Dan apabila kamu diminta, bangkitlah maka bangkitlah dari tempat dudukmu. Alloh pasti akan mengangkat orang-orang yang beriman dan berpengetahuan di antaramu beberapa derajat. Aloh maha mengetahui apa yang kamu lakukan.
Ber-gayut pada beberapa pendapat di atas, politik ternyata tidak boleh diabaikan, terutama dalam pembanguanan warga bangsa. Namun demikian W.S. Rendra si Burung Merak dalam sajaknya mengetuk-ngetuk pikiran setiap aliran dan elemen warga bangsa dengan untaian yang mengesankan. “…Meskipun hidup berbangsa perlu politik. Tetapi politik tidak boleh menjamah iman dan akal di dalam daulat manusia. Namun daulat manusia dalam kewajaran hidup bersama di dunia, harus menjaga daulat hukum alam, daulat hukum masyarakat, dan daulat hukum akal sehat…”
Pakem-pakem kehidupan politik yang diurai oleh para cerdik-pandai di atas setara dengan misi kekhalifahan. Dalam batasan atau pakem itu, sebagaimana fungsi kekhalifahan, pelekatan fungsi “rububiyah” juga sangat mencolok. Artinya, bahwa politik sesungguhnya mengambil peran mengangkat derajat kemuliaan manusia, terutama di sisi Alloh SWT yang secara otomatis memberi effect meluasnya kemanfaatan manusia atas keselamatan sesama maupun keberlangsungan keseimbangan alam.
Batasan yang hebat lagi mulia di atas ternyata tidak menjadi pilihan bagi sedemikian banyak para politisi. Contoh di Negara kita ketika Partai Komunis Indonesia memaksakan kehendak dalam melakukan kup atau perebutan kekuasaan dari pemerintah yang syah. Partai Komunis Indonesia melancarkan serangan politiknya yang terkungkung oleh desain tujuan menang atau kalah, bahkan dimangsa atau memangsa. Partai Komunis Indonesia selalu memainkan peran politik yang focus pada usaha membunuh karakter atau bahkan bila perlu jiwa kompetitornya. Demikian pula ketika rezim Orde Baru yang terlalu berhati-hati sehingga sangat kagok dalam peran politiknya. Ada nuansa bahwa rezim mengkultuskan diri sebagai potensi satu-satunya yang patut mengawal pembangunan warga bangsa. Hal ini melampau batas optimism dan melahirkan penekanan potensi-potensi lain. Tertekannya potensi lain mengakibatkan lemahnya control dan hal ini memicu kesewenang-wenangan. Reformasi juga tentu tidak nihil dari praktek-praktek sebagaimana era sebelumnya. Bukti sederhananya adalah angka korupsi yang harus ditangani secara signifikan. Bagaimana tidak, korupsi sesungguhnya mengabaikan dan mentelantarkan hak asasi warga bangsa untuk hidup layak bagi kemanusiaan.
Terhadap praktek-praktek yang abai menghidupkan pakem peran politik, masyarakat Sasak memiliki pandangan tersendiri. Secara umum, masyarakat Sasak sejak dulu menyesalkan adanya praktek yang merusak citra politik. Praktek pengerdilan, bahkan pengebiri-an eksistensi politik memberi shame effect bagi masyarakat Sasak. Hal ini mengemuka karena praktek-praktek tersebut pernah juga mewabah di sekitar mereka. Misal saja sikap dendam sesaat akibat perselisihan internal keluarga aristokrasi di Lombok. Dendam tersebut menyulut emosi untuk saling menggulingkan dengan melibatkan aristokrasi atau raja-raja luar Lombok. Demikian pula ketika melawan kekuasaan Bali, para ponggawa aristokrasi Lombok memilih melibatkan penjajah Belanda. Kalau memang harus menyelesaikan masalah atau perselisihan, termasuk dengan Bali, mengapa tidak memberdayakan potensi dengan segala kearifan yang ada. Artinya lebih pada pemberdayaan strategi politik sebagaimana Rasululluh SAW menduduki kembali Makkah. Tentu banyak yang akan mengatakan, “masyarakat Sasak di era tersebut tidak sekokoh mental-material Rasululloh SAW beserta pasukannya.” Jika memang ada statement itu, maka penulis akan meyakinkan bahwa penjajah Bali waktu itu tidak sehebat suku-suku di mekah yang menentang kepemimpinan Rasulullah SAW. Bali waktu itu tercerai-berai karena kepentingan kekuasaan. Jika ada kesabaran dan sedikit strategi, maka penulis yakin, Sasak akan bisa membangun kekuatan dahsyat seperti dahsyatnya gempuran Lasykar Lombok memporak-prandakan Markas Tentara Gajah Merah di Pusat Kota Selong.
Mencermati fenomena atau kasus yang menghadirkan shame effect bagi masyarakat Sasak itu, semuanya berhulu pada sikap abai terhadap pentingnya pembangunan politik yang pure sebagaimana pakem-pakem pada grand theory yang dijadikan frame of refrence dalam artikel ini. Sikap abai ini akhirnya menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan berpolitik yang hanya berorientasi kalah-menang, puji-caci, atau mati-bui. Ini tidak boleh berlanjut. Oleh karena itu, nalar Sasak-Indonesia mengemuka menyindir male practice perpolitikan dengan statement “Mambun Wong Anak Manusie.”
Pernyataan “Mambun Wong Anak Manusie” ini merupakan tiruan teriakan tokoh Raksasa dalam dongeng Sasak yang berusaha mengejar dan memangsa manusia. “Mambun Wong Empak Manusie” Ini secara akademis dapat dirujuk pada buku Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru karya Pahlawan Nasional asal Lombok, Almagfurulahu Maulanasysyaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid. Dalam buku tersebut ditegaskan: “Ucapan raksasa di zaman dahulu “Mambun Wong Anak Manusie.” Raksasa modern teriak melulu, “Mambun Uang dan kursi perlu.”
Narasi berupa sindiran di atas sesungguhnya tertuju pada kebiasaan-kebiasan buruk pada praktek perpolitikan yang seolah-olah komunitas yang lain adalah mangsa yang harus di-“bunuh” (homo homini lupus). Pernyataan itu juga menyoroti adanya kasus-kasus penyelenggaraan politik untuk memperkaya diri dan kelompok tertentu. Artinya, kritik narasi ini menjangkau kasus upaya politik kepentingan yang mengkonstruk kelas social dalam format “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin.” “Mambun Wong Anak Manusie” bagi penulis adalah sebuah usaha mengembalikan “politik” pada pakem-pakem yang pure mendidik, mengasuh, memperbaiki, dan mengurus perkara dengan arif dan adil, sebagaimana pandangan politik Islam yang terkenal dengan sebutan siyasah al syar’iyyah. Wallohu’alamu.
*Pemerhati bdaya Sasak, dosen IAIH NW Pancord tenaga pendidik di SMA NW Pancor.