Maimunah, S.Pd
Students aneed Teacher, Like a Person Needs for Light in The Darkness.
“Betapa bahagianya menjadi seorang guru yang tampil dengan penuh kharisma dihadapan peserta didik. Sosok guru yang selalu dirindukan kedatangannya, ditangisi kepergiannya, disegani diamnya, ditaati tutur katanya dan dikenang kebersamaannya” ini adalah impian seluruh guru di Indonesia.
Karena sejatinya, Pendidikan adalah sebuah dunia yang lahir dari rahim kasih sayang. Pendidikan harus berlangsung dalam suasana kekeluargaan dengan pendidik sebagai orang tua dan anak didik (murid) sebagai anak. Pendidikan dilakukan dengan hati lewatungkapan rasa kasih sayang (love), keikhlasan (sincerely), kejujuran (honesty), keagamaan (spiritual), dan suasana kekeluargaan (family atmosphere). Guru tidak dibatasi waktu dan tempat dalam mendidik peserta didik, sebagaimana orang tua mendidik anaknya. Guru harus ikhlas dalam memberikan bimbingan kepada para peserta didiknya sepanjang waktu. Demikian pula tempat pendidikannya tidak terbatas hanya di dalam ruang kelas saja, dimanapun seorang guru berada, dia harus sanggup memainkan perannya sebagai seorang pendidik yang sejati.Rudi Alexander Repi mengatakan,” Guru sebagai agen pembelajaran adalah Innovator dan improvitator bagi anak didik Sebab peserta didik bukanlah gelas kosong yang harus diisi, namun mereka ada dengan berbagai potensi pengetahuan, bakat dan ketrampilan yang harus diasah dan diarahkan sesuai dengan minat dan bakat mereka.
Guru yang baik adalah guru yang melandasi interaksinya dengan peserta didik diatas nilai-nilai cinta dan kasih sayang. Dengan cintalah akan lahir keharmonisan.Denagn rasa saying akan lahir ikatab batin. Diera globalisasi yang selalu mengedepankan emosi di sisi hati, ditengah mewabahnya covid 19 (corona), kekeringan sosial dan krisis kesantunan moral, maka sebuah keniscayaan bagi guru untuk merevitalisasi penanaman sikap santun dan keramahan di sekolah sebagai lembaga rekayasa sosial. Seperti yang katakan oleh pakar pendidikan kita Arif Rahman bahwa diera reformasi yang serba kebablasan ini guru harus mengajar muridnya dengan hati (cinta dan kasih sayang) bukan emosi.
Sikap cinta dan kasih sayang seorang guru tercermin melalui kelembutan, kesabaran, penerimaan, kedekatan, keakraban, serta sikap-sikap positif lainnya dalam berinteraksi dengan lingkungannya, khususnya dengan para peserta didik. Sosok guru yang selalu menebar kasih sayang pada peserta didik akan melahirkan sebuah kharisma. Peserta didik akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya, serta menempatkan dia sebagai sosok yang berwibawa dan disegani. Cinta adalah sikap batin yang melahirkan kelembutan, kesabaran, kelapangan, kreativitas, serta tawakkal. Jaring-jaring cinta yang kita tebar dengan penuh keikhlasan akan tersambut positif oleh peserta didik. Sesuai dengan kalimat hikmah “Siapa menanam, dialah yang akan memetik hasilnya.”
Respon balik dari rasa cinta peserta didik bisa terwujud melalui sikap-sikap positif. Misalnya penghormatan, kepatuhan, motivasi belajar, kecintaan terhadap tugas, dan rasa ingin selalu menghargai guru yang dicintainya. Dengan sikap-sikap seperti ini maka peserta didik akan merasakan bahwa belajar sudah bukan lagi sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan bahkan keasyikan. Maka akan muncul gairah untuk berprestasi didalam jiwa peserta didik. Namun dalam realita dilapangan, ungkapan rasa cinta guru tidak mudah ditangkap oleh peserta didik. Mengungkapkan kata cinta tidak semudah mengucapkan. Dibutuhkan kiat dan seni tersendiri agar sinyal cinta guru dapat dipahami peserta didik.
Bagaimana mewujudkan Mengajar dengan hati di sekolah? Ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh guru:
Kelembutan sikap
Modal utama cinta salah satunya adalah kelembutan sikap. Kelembutan akan melahirkan cinta, dan perasaan cinta akan semakin merekatkan hubungan antara guru dengan peserta didiknya. Bila seseorang mencintai sesuatu, pasti ia akan berperilaku lembut terhadap sesuatu yang dicintainya tersebut. Jika peserta didik selalu menemukan kelembutan setiap kali berinteraksi dengan guru, maka peserta didik akan meyakini bahwa gurunya memang mencintai mereka. Hampir semua guru berkeinginan untuk mencintai dan dicintai peserta didiknya. Namun tidak semua guru berhasil melakukannya. Kiat-kiat untuk melembutkan hati guru: pertama, jangan pernah ragu menyatakan “aku juga mencintaimu” terhadap peserta didik. Menurut Gary Chapman, semua tingkah laku anak adalah “bahasa cinta.” Dari tingkahnya yang beraneka rupa ,anak mengharap respon positif dari orang dewasa. Oleh karena itu kita tidak boleh tergesa-gesa menstempel/cap hitam terhadap anak yang bertingkah polah negatif, tetapi segeralah kita menangkap pesan cinta dari anak tersebut. Disinilah muasal hati menjadi lunak dan lembut. kedua, nyatakan “aku hadir demi kamu.” Jika guru menganut filsafat ini maka, bagaimanapun karakter peserta didik yang dihadapi, guru akan mampu menerima dan menghadapinya dengan bijak. ketiga, nyatakan “akulah sahabatmu.” Apabila ada teman yang selalu setia bersama kita di kala susah atau senang, maka dialah teman sejati. Guru jangan jadi model “polisi” yang akan menjadi teman dinas bagi peserta didiknya. Sebagai teman sejati guru harus mampu menciptakan komunikasi “pemecah es” untuk memecahkan kebekuan suasana dalam berinteraksi dengan peserta didik.
Mengatur Emosi
Guru harus pandai mengatur emosinya secara baik dan canggih. Jangan sampai mencampuradukan persoalan pribadi dengan masalah sekolah. Bila guru ingin meluapkan emosi yang sulit dibendung dihadapan peserta didik, hendaklah dengan cara duduk, jangan dengan berdiri apalagi dengan berkacak pinggang.
Hindari Pemikiran Negatif
Dalam menghadapi peserta didik yang bikin ulah dikelas, selaiknya guru jangan mudah terbawa arus emosional yang bersifat negatif. Stempel atau cap negatif akan menyebabkan hubungan guru dan murid menjadi tersekat, tidak netral, bahkan penuh dengan prakonsepsi negatif. Untuk menghindari hal seperti itu guru harus mampu menjadi sosok yang pemaaf. Seorang guru harus memahami bahwa anak berbuat kesalahan lebih karena dorongan naluri kekanak-kanakannya ketimbang pertimbangan rasionalnya. Buatlah kondisi interasi kembali netral dengan maaf.
Hadirkan Mereka Dalam Doa
Guru adalah orang tua kedua bagi anak. Maka, hendaklah guru berusaha berbuat sebagaimana dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Mendoakan anak secara rahasia merupakan keniscayaan bagi guru yang kini banyak terlupakan. Guru selain sebagai pengajar dan pendidik serta yang tidak kalah pentingnya adalah menjadi pendoa bagi anak didiknya.
Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka
Metode Quantum Teaching adalah penggubahan belajar yang meriah dengan segala nuansanya ciptaan Bobbi DePorter. Quantum Teaching berfokus pada hubungan dinamis dalam lingkungan kelas. Asas utama dari metode ini: Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka. Mengacu pada asas tersebut maka metode ini menyarankan untuk guru memasuki dunia peserta didiknya terlebih dahulu. Artinya, Bapak/Ibu Guru harus mengawali proses belajar-mengajar di kelas dengan membangun relasi bersama peserta didik.
Segalanya Berbicara
Segalanya yang berada dilingkungan memberikan makna tentang belajar. Bahasa tubuh yang ada pada seseorang sesungguhnya mengirimi pesan tentang belajar.Alam semestapun bisa menjadi sumber belajar yang ilmiah untuk dikaji dan diketemukan jawabannya juga lewat pengalaman belajar.
Akui dan Apresiasi Setiap Usaha Mereka
Pada saat peserta didik mengambil langkah, menyampaikan ide dan menemukan solusi dari sebuah permasalahn , mereka patut mendapat pengakuan dan dihargai pendapatnya atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka.
Membangun Relasi
Tindakan membangun relasi tersebut dapat berupa upaya mengenali pribadi peserta didik, bersikap ramah, menyenangkan, atau ketahuilah hal-hal yang sedang menjadi perhatian mereka. Tindakan ini bertujuan agar siswa memberikan izin kepada Bapak/Ibu Guru untuk memimpin, menuntun, dan memudahkan perjalanannya menuntut ilmu. Dengan demikian, Bapak/Ibu Guru juga dapat berhasil mengantarkan ilmu yang dimiliki untuk diterima oleh peserta didik.Pada metode ini, hubungan yang terjalin harus memperhatikan segala aspek kepribadian manusia dan sekitar yang dapat memengaruhi proses belajar. Aspek yang dimaksud di antaranya aspek pikiran, perasaan, bahasa tubuh hingga keadaan ruang kelas. Aspek-aspek ini didasarkan pada sikap positif tanpa memandang negatif perbedaan kemampuan yang dimiliki setiap peserta didik.
Sejalan dengan pemikiran diatas, sebenarnya ada tiga hal yang sangat dibutuhkan peserta didik disekolah. Pertama lingkungan belajar yang aman dan nyaman, kedua sekolah sebagai rumah kedua, dan ketiga komunitas teman sebaya. Lingkungan belajar yang aman dan nyaman meliputi sarana dan prasarana fisik serta suasana belajar yang enjoy learning. Belajar akan efektif jika berada dalam keadaan yang menyenangkan. Berangkat dari rasa kegembiraan itulah maka akan bangkit minat, adanya keterlibatan penuh, tercipta makna, adanya pemahaman atau penguasan materi serta munculnya nilai yang membahagiakan. Guru sebagai sosok yang pantas digugu dan ditiru, penting menempuh pendekatan yang disertai dengan kelembutan terhadap anak didik. Menurut Rudolf Dreikurs, ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh guru untuk mengembangkan sekolah ramah anak. Pertama, jadilah guru yang tidak lagi bertindak sebagai penguasa kelas atau mata pelajaran, tetapi bertindaklah sebagi pembimbing kelas atau mata pelajaran; kedua, kurangi kelantangan suara dan utamakan keramahtamahan suara; ketiga, kurangi sebanyak mungkin nada memerintah dan diganti dengan ajakan; keempat, hindarkan sebanyak mungkin hal-hal yang menekan peserta didik; kelima, hal-hal yang menekan diganti dengan pemberian motivasi terhadap anak sehingga bukan paksaan yang dimunculkan, tetapi pemberian stimulus; dan keenam, jauhkan sikap guru yang ingin”menguasai”peserta didik karena sikap yang lebih baik ialah mengendalikan peserta didik. Hal yang terungkap bukan kata-kata mencela, tetapi kata-kata guru yang membangun keberanian dan kepercayan diri peserta didik. Sekolah merupakan miniatur kehidupan dalam masyarakat. Karena itu, selain diberi pembelajaran dalam keseharian, para peserta didik juga diajak mengembangkan aspek persaudaraan dan solidaritas antar teman sebagai bekal kehidupan bersosisalisasi dalam hidup bermasyarakat. Pengembangan aspek kemanusiaan ini bisa tercipta jika guru dapat menciptakan iklim pembelajaran dikelas yang kondusif dengan menerapkan model-model pembelajaran yang menantang peserta didik berfikir kritis dan kreatif. Lewat sekolah, peserta didik diajarkan rasa saling menghormati dan mencintai perbedaan dalam segala bidang baik dengan teman, guru dan masyarakat sekitar. Peserta didik tidak cukup hanya menerima perbedaan, tetapi lebih penting lagi mencintai kebersamaan dalam perbedaan. Mau dan mampukah guru menanam dan menyemai cinta di hatinya untuk peserta didik-siswinya? Harus! Karena keputusan seseorang menjadi seorang guru haruslah memahami resiko-resiko yang akan ia hadapi sebagai orang yang berprofesi sebagai pendidik, dengan semangat totatalitas kerja yang tinggi. Selamat menebar pesona cinta untuk semua peserta didiknya bagi sang pahlawan cendekia. Fenomena dan problematika pendidikan seakan tidak penah lepas dari peran serta guru selaku nakhoda piawai yang diharapkan dapat mengantarkan penumpangnya ke pulau yang didambakan, yaitu kesuksesan suatu proses pendidikan. Kesuksesan peserta didik, merupakan beban dan tanggung jawab yang berada di pundak Sang Mu’allim. Di tengah mirisnya kepercayaan diri sebagian guru, dengan mempertaruhkan gengsinya diantara berbagai profesi di Indonesia, Guru hadir untuk memberikan motivasi, dan semangat baru bagi seorang guru.
Seorang guru professional harus merasa bahwa dirinya adalah “pemilik risalah” dan dia harus menyadari dengan kemuliaannya serta mengamini urgensinya. Di samping itu, ia tidak kikir untuk menyampaikan kebaikan dan tidak memandang remeh hal-hal yang bisa menghalangi langkahnya untuk menyampaikan kebaikan… Sungguh, kemuliaan seorang guru disebabkan karena tugas-tugasnya, pembelaannya terhadap kebenaran, seruan menjaga kesucian jiwa, dan menjaga kemuliaan misi pendidikan dan membelanya.
* Penulis adalah Guru SMA Negeri 1 Praya