DIBATASI: Sejak pandemi virus Corona melanda, pendakian ke Gunung Rinjani dibatasi kuotanya.
SELONG--Terjangan pandemi virus corona membuat Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (BTNGR) membatasi kuota pendakian di Gunung Rinjani. Pembatasan kuota ini disinyalir merugikan pelaku wisata pendakian dan warga Sembalun.
Salah satu pelaku wisata, Royal Sembahulun mengatakan, bisnis menjual paket wisata pendakian ke Gunung Rinjani tidak lagi menarik. Penyebabnya karena adanya pembatasan pendakian.
"Saya bukanya menolak pembatasan, tetapi penghitungan kuota itu harus benar-banar memenuhi rasa keadilan," ujarnya, Senin (19/10).
Rasa keadilan ini, jelasnya, harus sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Dimana konsep ini harus mengedepankan aspek ekonomi, sosisial dan lingkungan.
Meruginya para pelaku bisnis wisata dan warga, jelasnya, disebabkan pula karena keberadaan aplikasi E-Rinjani yang belum matang. Keberadaan aplikasi ini membuat operator kunjungan (tour operator) sulit mendapat slot atau jatah kuota calon tamu yang hendak mendaki.
"Saat ini memang ada pembatasan kuota karena Covid 19. Namun sesungguhnya dalam waktu normal pun masayarakat Sembalun masih dirugikan jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan tahun-tahun sebelumnya," ucapnya.
Pada tahun 2016, tercatat pendaki yang melakukan pendakian ke Rinjani sebanyak 91.961. Jumlah ini terdiri dari 61.114 pendaki lokal dan domestik, sementara sebanyak 30.847 pendaki asing.
Sembalun diaebutnya merupakan jalur favorit. Namun demikian, bukan berati hanya warga Sembalun yang mengorganisir setiap tamu yang datang.
Jika di persentasekan, terangnya, sekitar 75 persen pendaki naik dari Sembalun. Tingginya persentase ini karena jalur Sembalun aksesnya paling dekat menuju puncak.
Sesuai data pendakian, ungkapnya, jika 75 persen yang mendaki pada tahun 2016, maka jumlah pendaki dari jalur Sembalun sekitar 68.970 orang. Jumlah ini disebutnya sebagai pendaki legal. Tentu jumlah ini jauh lebih besar jika dihitung lagi dengan tambahan pendaki ilegal.
Royal menegaskan, sejak diterapkan sistem kuota menjadi 150 orang per hari, jika dikalkulasikan maka kuota pendakian per tahun (9 bulan) hanya 45,000. Jumlah ini sangat jauh dari data jumlah pendaki pada tahun 2016 yaitu minus 20.370.
Dari hitungan itu, bebernya, secara pribadi ia memandang Gunung Rinjani tidak lagi menjadi primadona dalam membangun ekonomi masayarakat. Terlebih tidak sedikit pihak-pihak yang menggantungkan hidupnya dari Rinjani. Beberapa dari mereka diantaranya seperti tour operator, porter, guide dan ojek.
Sejak pembatasan kuota pendakian ini, dampak ekonomi sangat dirasakan terutama dari para pengusaha jasa penginapan seperti hotel, vila, homestay dan rumah singgah. Begitu juga dengan jasa transportasi, penyewaan alat camping dan para pedagang logistik kebutuhan pendakian.
Bagi Royal, apapun alasannya minus 20,300 wisatawan dari tahun sebelumnya akan berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat. Ia yakin, kondisi inintetap akan terasa kendati sudah berlaku masa normal pasca pandemi.
"Jika angka yang hilang tersebut adalah tamu asing, maka ada potensi yang hilang Rp 40-60 miliar dari pintu pendakian Sembalun,' sebutnya.
Ia mengaku masih blum mengerti terkait formula yang digunakan dalam menghitung kuota yang digunakan pihak BTNGR. Sejak ditetapkannya kuota pendakian sebanyak 150 orang perhari dituding telah mematikan ekonomi masayarakt di sekitar kawasan hutan Rinjani.
Terpisah, Kepala BTNGR, Dedy Asriyadi mengatakan, kondisi pembatasan harus dimaklumi. Terlebih saat ini merupakan masa pandemi.
Pembatasan kuota sebesar 30 persen ini disebutnya tidak saja berlaku di Rinjani. Namun berlaku pula di seluruh Indonesia.
"Kami telah berjuang maksimal agar Rinjani ini buka lebih awal dibanding yang lain. Lihat saja bagaimana Semeru yang baru dibuka bulan ini. Kita malah jauh lebih dulu," ucapnya.
Dedy tidak bersepakat meneropong persoalan yang dihadapi di Rinjani sebatas menggunakan perspektif lokal. Situasi saat ini mau tak mau harus dirunut secara nasional, bahkan global.
Ia juga menyinggung bagaimana keberadaan tour operator (TO). Di kawasan Rinjani ada sekitar 129 pengelola jasa TO. Mereka inilah yang dipercayakan menangani pendaki yang hendak berkunjung ke gunung tertinggi ketiga di Indonesia ini.
"Untuk wisatawan mancanegara ini kan kita haruskan mellaui TO. Tapi agak longgar bagi wisatawan domestik, mereka boleh menggunakan TO atau tidak," terangnya.
Perlakuan berbeda disebutnya diberlakukan kepada pendaki lokal dari kalangan mahasiswa asal NTB. Mereka ini disebutnya tidak mungkin menjadi sasaran bisnis lantaran tidak memiliki uang.
Dengan membuka pendakian lebih awal, terangnya, ada kesungguhan yang ditunjukkan pihak TNGR dalam membangkitkan ekonomi sekitar. Pihaknya menyadari, Gunung Rinjani sebagai salah satu episentrum yang bisa menggerakkan perekonomian masyarakat.
"Karena itu, sejak awal kita berusaha keras agar pendakian di gunung ini dibuka. Tujuannya tidak lain agar perekonomian kita bangkit," tegasnya. (jl)