Oleh : Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq |
INDONESIA menjadi salah satu negara yang memiliki prodak hukum yang begitu banyak, prodak-prodak tersebut menjadi acuan untuk pemerintah dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Sehingga tidak sedikit kita melihat kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah, baik Undang-undang yang di bahas melalui gedung parlemen, peraturan presiden (PERPRES), Peraturan Menteri (PERMEN), Peraturan Pemerintah (PP), Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan yang saat ini sedang ramai di perbincangkan yaitu Omnibus Law atau yang di kenal dengan Undang-Undang sapu jagad.
Istilah “Omnibus law” pertama kali muncul di Indonesia saat pidato pertama Presiden Joko Widodo setelah dilantik menjadi Presiden untuk priode keduanya pada minggu (20/10/2019). Pada saat itu, Presiden menyinggung sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut omnibus law. Menurut Audrey O” Brien (2009), Omnibus Law adalah suatu rancangan undang-undang (bill) yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang.
Pada tanggal pada tanggal 29 November 2019, Presiden Joko Widodo mengajak DPR membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law. Adapun dua undang-undang yang akan menjadi omnibus law adalah UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Mengapa harus ada “Omnibus Law” ?
Ada dua faktor mengapa omnibus law harus diterbitkan:
Pertama, di Indonesia terlalu banyak regulasi atau undang-undang. Bahkan, antara satu regulasi dengan regulasi lainnya saling tumpang tindih dan menghambat akses pelayanan publik, perizinan, dan kemudahan berusaha. Dampaknya, program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mencatat pada periode 2014–Oktober 2018, pemerintah telah menerbitkan 8.945 regulasi atau aturan. Regulasi itu terdiri dari 107 Undang-Undang, 765 Peraturan Presiden, 7.621 Peraturan Menteri, 452 Peraturan Pemerintah. Di antara ribuan aturan yang dibuat tersebut dipastikan akan saling terkait dan tumpang tindih sehingga tidak efektif.
Kedua, peringkat skor indeks regulasi Indonesia selalu rendah. Bank Dunia mencatat, posisi skor Indonesia sepanjang 1996–2017 selalu minus atau di bawah nol. Rentang skala indeks regulasi yang dikeluarkan Bank Dunia antara -2,5 (kualitas regulasi terburuk) hingga 2,5 (kualitas regulasi terbaik).
Pada 2017, skor Indonesia menunjukkan angka -0,11 poin dan berada di peringkat ke-92 dari 193 negara. Dalam lingkup ASEAN, posisi Indonesia masih berada di peringkat kelima di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Hasil riset Bank Dunia tentang kemudahan berbinis 2019 juga menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi 112 dari 190 negara dalam urusan perpajakan. Posisi ini tidak menguntungkan untuk menarik minat para investor.
Terlalu banyaknya regulasi juga telah memunculkan fenomena hyper regulation. Oleh karena itu, pemerintah bemaksud merevisi aturan perundang-undangan yang saling berbenturan. Jika dilakukan secara konvensional, revisi undang-undang satu per satu diperkirakan akan memakan waktu lebih dari 50 tahun. Pemerintah dan DPR sepakat, skema omnibus law adalah solusi yang bisa menyederhanakan regulasi dengan cepat.
Rapat paripurna DPR RI yang dilaksanakan pada senin (5/10/2020) mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang Undang. UU Cipta Kerja ini disetujui oleh 7 fraksi yang terdiri dari PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP dan PAN, namun ada 2 fraksi yang menolak yaitu Partai Demokrat dan PKS.
Disahkannya RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, sontak saja menuai berbagai respons dari masyarakat, pro dan kontrapun tidak dapat dihindari. Seperti yang di ungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjayana yang mengatakan “Kalangan dunia usaha menyambut baik dan memberikan apresiasi kepada pemerintah dan DPR yang telah menyepakati pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU”. Sementara itu di salah satu ormas terbesar di Indonesia yakni Muhammadiyah kecewa terhadap keputusan tersebut dan mengatakan “DPR yang merupakan wakil rakyat lebih banyak mendengar dan membela kepentingan pemilik kapital dari pada membela kepentingan rakyat banyak”.
Walau telah disahkan Undang-Undang Cipta Kerja nyatanya Dewan Perwakilan Rakyat masih mengecek naskah akhir Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) sehingga belum membuka dokumen finalnya kepada publik. Sontak saja hal ini kemudian menuai kritikan dari berbagai pihak seperti Peneliti Parlemen dan Perundang-undangan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura mengatakan tindakan DPR itu menabrak kepastian hukum. Charles berujar, tak ada istilah perapihan dalam pembentukan undang-undang.
Menurut Charles, perbaikan setelah paripurna melanggar Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Serta melanggar frasa persetujuan bersama dan hak anggota DPR karena perapihan diserahkan kepada mereka yang bukan anggota DPR.
Diberbagai daerah aksi demonstrasi dilakukan oleh para mahasiswa maupun buruh yang menolak disahkannya UU Cipta Kerja. Penolakan ini dirasa cukup masuk akal karna didasari oleh beberapa hal sebagai berikut:
Pertama, proses pembahasan RUU Cipta Kerja yang cenderung tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan sangat minim melibatkan partisipasi publik. Tentunya ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan khususnya Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam ketentuan Pasal 5 hurruf g Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-Undangan secara tegas dinyatakan, bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yaitu asas keterbukaan.
Kedua, RUU Cipta Kerja ini lebih memberikan keistimewaan kepada dunia investasi tanpa memperhatikan aspek kepentingan sosial yang lebih luas, misalnya masalah perlindungan hutan dan lingkungan. RUU ini juga tidak memperhatikan aspek nilai etik lingkungan (environmental ethics) dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat secara lebih luas. Secara substansi, RUU ini berwatak represif dan cenderung melanggar hak-hak warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (3) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Ketiga, mutatis mutandis dengan cara-cara yang digunakan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ini yang cenderung tertutup, tidak transparan, tidak akuntabel dan sangat minim melibatkan partisipasi public.
Keempat, pemikiran teknis bahwa penetapan RUU Cipta Kerja melalui metode omnibus dengan membuat efisien karena sekali kerja mendapat sekian luas bidang pengaturan dapat menyesatkan karena tidak semua yang diatur adalah benda fisik seperti mengintegrasikan gedung-gedung dan ruang-ruang di dalam suatu kompleksbangunan, melainkan berhadapan dengan perbedaan sifat jasad renik/gen/virus, spesies, lanskap, kondisi sosial dan kebudayaan yang secara bersamaan menjadi tempat berbagai sector bekerja.
Kelima, kekhawatiran terhadap dampak sosial keluarnya RUU ini sangat luas khususnya di kalangan para buruh. Kalangan buruh sangat prihatin dengan RUU ini setidaknya karena perlindungan dan kesejahteraan buruh terasa diabaikan, upah minimum, pesangon & jaminan sosial yang dikurangi kualitasnya bahkan berpotensi hilang ketika praktek kerja kontrak dan outsourcing di perluas seluas-luasnya. Pada titik ini terasa sangat ironis. Sebab, masuknya investasi secara besar-besaran mestinya disambut gembira oleh para buruh. Tetapi, RUU ini justru menjadi momok bagi para buruh, khususnya karena keberpihakannya kepada buruh terasa semakin tipis, bahkan tidak ada.
Keenam, di tengah situasi pandemi Covid-19 yang sangat massif penyebarannya. Namun DPR tetap saja bertekad melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Sikap dan tindakan DPR semacam ini menunjukkan bahwa DPR tidak memiliki sense of crisisterhadap dampak negatif serangan virus tersebut yang berakibat pada perekonomian rakyat, terutama mereka yang bekerja di sektor informal.
Dalam perspektif Fenomenologi-motif Alfred Schut. Fenomenologi Alfred Schutz dijelaskan bahwa tindakan manusia dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, because motive (motif sebab) yaitu yang melatarbelakangi manusia melakukan suatu tindakan. Kedua, in order to motive (motif tujuan) yaitu tujuan yang ingin dicapai manusia terkait dengan tindakan yang mereka kerjakan.
Adapun because motive (motif sebab) para mahasiswa dan buruh melakukan demostrasi adalah beberapa hal yang telah disebutkan di atas. Adapun in order to motive (motif tujuan) para mahasiswa dan buruh melakukan demostrasi adalah mendesak Presiden Joko Widodo menolak dan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan omnibus law Cipta kerja.
Dalam teori sosiologi, terdapat Teori Struktural Fungsional yang berasumsi bahwa, setiap sistem memiliki fungsi dan peran masing-masing. Struktural fungsional memusatkan perhatian pada kelompok, organisasi, masyarakat, dan kultur. Salah satu tokoh dari teori ini adalah Robert. K. Merton yang dikenal dengan Teori Fungsi. Merton dikenal dengan konsep fungsi nyata (Manifes) dan fungsi tersembunyi (Laten) kedua istilah ini memberikan tambahan penting bagi analisis fungsional.
Disahkannya UU Cipta Kerja pada malam hari oleh DPR merupakan fungsi nyata manifest, sedangkan fungsi laten tersembunyi inilah yang perlu kita cari tahu bersama apakah itu ada kepentingan-kepentingan kelompok tertentu atau tidak sehingga UU Cipta Kerja ini disahkan di malam hari Senin (5/10/2020). Karna rencana awal pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja dilakukan pada kamis (8/10/2020). Munculnya fungsi manifest pasti diiringi pula dengan munculnya fungsi laten.
Adanya berbagai penolakan dan aksi demonstrasi di respons oleh Presiden Joko Widodo dengan meminta masyarakat yang keberatan dengan Undang-Undang Cipta Kerja untuk mengajukan uji materi atau judicial review. Sungguh ironis memperhatikan respons Presiden tersebut, masih hangat dalam benang pikiran beberapa waktu yang lalu Presiden Joko Widodo mengatakan saya rindu di demo. Namun pada saat gelombang masyarakat melakukan demonstrasi, Presiden Joko Widodo justru melakukan kunjungan kerja ke Palangka Raya. Abrahm Lincoln menyatakan bahwa demokrasi merupakan system pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah seyogyanya harus benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan dirinya maupu kelompoknya.
* Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi Universitas Mataram.