Dr. Jamiluddin, M.Pd
(Antara Kemauan, Kebutuhan, Pilihan-Pilihan Prioritas Dalam Tinjauan Nalar Klasik Masyarakat Sasak)
TAMPAKNYA sang penyair Taufik Ismail telah meniup pesan langit dalam setiap tanda aksara sebuah syair. Sementara gitaris God Bless Ian Antono mendandaninya dengan liukan nada legatura yang menggoda. Sentuhan duo maestro akhirnya menjelma menjadi karya seni rohani bernilai tinggi yang berisi diksi-diksi inspiratif nan seksi. Demikianlah proses kreatif duo maestro menggubah “Panggung Sandiwara” menjadi salah satu lagu lawas yang legend.
Tidak sekedar melegenda, lagu hits yang pernah dilantunkan vokalis God Bless Ahmad Albar, rocker Nicky Astria, bahkan si cantik almh Nike Ardila, ternyata berasa sakral. Bagaiamana tidak, hakekat pesann lagu “Panggung Sandiwara” sebangun dengan ayat-ayat yang tak akan tersangkal. Salah satu ayat dari sekian banyak ayat yang menandaskan kebenaran pesan lagu “Panggung Sandiwara” adalah firman Alloh Ta’ala dalam QS al-Hadid Ayat 20, yang menjelaskan “Wamal hayata dunnyya illa mata’ul gurur” (dan kehidupan di dunia hanyalah kesenangan yang menipu).
Para mufassir rata-rata memberikan tafsir yang sama terhadap ayat di atas. Prof. Dr. Quraish Shihab, MA. sendiri menafsirkan dengan uraian “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan. Selain itu dunia juga dipandang sebagai perhiasan dan tempat bermegah-megahan di antara kalian, serta berbangga-bangga terhadap banyaknya harta dan anak. Artinya, kehidupan dunia menyibukkan atau mengundang kita untuk larut di dalamnya. Adapun mengenai ketaatan dan hal-hal yang membantu menuju kepada-Nya termasuk perkara-perkara akhirat berhadapan dengan kehidupan dunia yang menyilaukan kalian. Semuanya bagaikan air hujan yang membuat orang-orang, khususnya para petani merasa kagum, merasa takjub, terhadap tanam-tanamannya yang tumbuh disebabkan turunnya hujan itu. Kemudian sesaat setelah itu, tanaman menjadi kering, lapuk, dan layu. Kalian pun kemudian melihat warnanya tetanaman menjadi kuning dan tak urung menjadi hancur, menjadi keropos, dan berjatuhan ditiup angin. Dan sesungguhnya di akhirat ada azab yang keras bagi orang-orang yang lebih memilih keduniaan. Sementara ampunan dari Allah serta keridaan-Nya akan diberikan bagi orang-orang yang lebih memilih akhirat daripada dunia. Ketahuilah bahwa kehidupan dunia ini tidak lain merupakan tempat bersenang-senang yang dalam kesenangan itu tiada lain hanyalah sebuah tipu daya.
Penulis sendiri berpandangan bahwa syair lagu “Panggung Sandiwara” yang menggantung pada QS al-Hadid Ayat 20, memiliki esensi tekait penegasan tentang tantangan berproses dan sifat-sifat keduniaan. Dunia yang ceritanya cepat berubah. Dunia yang menawarkan peran bagi masing-masing abdillah. Dunia yang menawarkan peran wajar atau kepura-puraan. Dunia yang kemudian membujuk kita tertawa terbahak-bahak manakala kita sedang melakoni peran kocak. Dunia yang merangsang kita mabuk kepayang ketika kita memainkan adegan percintaan. Dunia yang tak enggan mengecoh kita untuk selalu terbelalak hingga terjebak dalam drama dan alur cerita sandiwaranya.
Berenang dan menyelemi seluruh sisi telaga esensi sya’ir yang terisi ruh ayat suci di atas, akan mengantar kita menjadi lebih pintar menguliti arti dan arahan pesan yang terkandung di dalamnya. Salah satu arti dan pesan yang terpenting adalah hidup dan berproseslah di dunia dengan rasional menurut ketentuan Tuhan. Dengan diksi yang sedikit menggoda kita dapat menegaskan bahwa, “hidup memang sandiwara tetapi bersandiwara bukanlah pilihan dalam kehidupan.”
Dalam hidup rasional yang dipandu hidayah Tuhan, akan menghadirkan keberanian memastikan bahwa tidak setiap kemauan menjadi jembatan menuju tujuan. Hidup dengan akal sehat yang penuh rahmat akan memosisikan kebutuhan selaras dengan ranking prioritas. Maka dalam hidup yang rasional di jalan Rahmat, senantiasa memilih aktifitas jasmani-material dan rokhani-spiritual yang jelas-jelas dalam kelas prioritas. Hidup rasional pasti ekonomis secara material. Hidup rasional insyaaloh akan menggugah akal berpangkal dan menjadikan tawakkal sebagai portal final.
Arti esensi syair lagu “Panggung Sandiwara” yang sarat energy langit pada intinya mengajarkan agar manusia tidak melakukan hal yang sia-sia. Apalah artinya menggarami samudera. Apalah untungnya mengisi air dalam keranjang. Apalah perlunya menabur pasir di padang pasir. Mengapa harus menulis di atas air. Hauskah bersusah payah mengajari hewan-hewan prirmata memanjat pohon, dan lain sebagainya. Semuanya mubazzir dan tentu ini adalah amaliah yang mengusung ajakan syetan. Hal ini ditegaskan dalam Al-Quran Surat Al-Isro’ Ayat 20 yang artinya: “ Berikanlah kerabat dekat termasuk orang-orang miskin dan orang-orang yang berjuang dijalan Alloh atau ibnu sabil hak-haknya. Dan janganlah sekali-kali hidup boros atau melakukan perbuatan mubazzir. Ingatlah bahwa orang-orang yang melakukan perbuatan mubazzir adalah adalah teman syetan.
Perbuatan sia-sia atau mubazzir dalam nalar masyarakat Sasak klasik disebut “Peres batu Derek Aik.” Di wilayah tengah atau pada pengguna dialek ngeno-ngene, nalar ini disebut dengan “Peres Batu Ndarak Aik.” Dalam keseharian masyarakay Sasak, nalar ini sering dipertegas dengan ungkapan-ungkapan seperti: 1). Ngajar empak ngoncer (ngajar ikan berenang), 2). Ngajar godek nenaik (Ngajar kera memanjat), 3). Jual sie jok Kedome (jual garam ke pusat produksi garam) 4). Nenimbak ngadu keranjang (menimba air pakai keranjang).5). Nyia’in aik laut (menggarami air laut), dan lain-lain.
“Peres batu Derek Aik” atau “Peres Batu Ndarak Aik,” yang berarti memeras batu yang tak akan pernah mengeluarkan air tersebut merupakan narasi dalam nalar masyarakat Sasak klasik untuk menyindir orang-orang yang terlena dalam kesenangan duniawi. Narasi ini kerap kali terlolontar sebagai tamparan bagi orang-orang yang sembarang berjuang merancang dan mewujudkan kemauan. “Peres batu Derek Aik” atau “Peres Batu Ndarak Aik,” adalah desakan kepada setiap orang untuk melakukan negasi terhadap perbuatan yang akan menghabis-habiskan energy atau mubazzir.
Bagi Masyarakat Sasak klasik, selain tiada berguna, perbuatan yang disetarakan dengan “Peres batu Derek Aik” atau “Peres Batu Ndarak Aik,” lambat tapi pasti akan mengubah seseorang menjadi dungu atau tidak cerdas. Sulit bagi mereka yang tepasung dalam kesia-sia-an untuk membedakan tai tikus dengan ketan hitam. Dengan kata lain, mereka akan betul-betul dalam kesulitan memilih atau memilah jalan fujuroha dan taqwaha, sebagaimana Ayat 8 Surat as Shams. Tentulah hal ini sangat membahayakan manusia. Yang pasti arah hidup menjadi abu-abu, bahkan kabur karenanya.
Dalam kondisi arah hidup yang abu-abu atau kabur ini, manusia biasanya mengalami kegalauan dan tak sedikit yang terpasung dalam Sunday neorosis (kekosingan jiwa). Mereka yang mengalami kondisi jiwa seperti ini cenderung akan berhalusinasi sekaligus fobia tehadap kehidupan nyata ataua natural phobias. Karena tak berani hidup di alam nyata maka orang-orang seperti ini sama dengan lelap dan bermimpi. Lalu apa yang mereka peroleh jika mereka tidak bangun dari tidur untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Kiranya mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, tidak hanya di dunia tetapi juga tentu di akhirat kelak. Na’uzubillah, summa na’uzubillah. Semoga uraian sederhana ini membeikan inspirasi bagi kita dalam memilih dan memilah kemauan yang termasuk dalam kategori kebutuhan dan menjadi prioritas untuk kita wujudkan. Wallohu’alamu.
*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor, dan tenaga pendidik di SMAN 2 Selong