BEJANGO: Warga Desa Songak saat melaksanakan ritual Bejango.
SELONG--Waktu mununjukan pukul 16.00 Wita. Orang-orang baru saja nampak turun dari masjid menunaikan Salat Ashar.
Namun tak lama berselang, susana berganti. Giliran orang datang kembali ke masjid mengenakan pakian adat lengkap. Mereka duduk beraturan di teras tempat ibadah tersebut.
Lewat pengeras suara, terdengar panitia setempat memberikan imbuan akan dilaksanakannya sebuah ritual tradisi. Imbauan belum selesai, terlihat berapa buah dulang dibawa ke dalam masjid. Dulang itu lengkap dengan perangkat ritual yang dilaksanakan.
Begitulah suasana yang terjadi Masjid Tua Sontak, Kecamatan Sakra Lombok Timur, Rabu kemarin (28/20).
Sesaji dalam dulang itu oleh warga Singal menyebutnya Sesangan dan Sanganan.
Selepas imbauan berlalu, terdengar di luar masjid suara tabuhan gamelan dengan seragam hitam. Musik tradisional itu hendak mengiri upacara ada tersebut.
Setelah gendang berhenti ditabuh. Sesangan dan Sanganan beserta warga yang telah berada di pelataran masjid, masuk dengan berbaris ke induk tempat ibadah. Tampak ber-shaf rapi layaknya orang yang akan melaksanakan salat berjamaah.
Tak lama kemudian, pemangku adat mulai berdzikir dan memanjatkan do'a kepada Allah, Tuhan semesta alam.
Panjatan do'a pun usai. Warga yang berada di dalam masjid mencicipi Sanganan (makanan, red) berupa buah dan kue yang terbuat dari beras ketan.
Tokoh desa pun maju ke mimbar masjid untuk melaksanakan puncak ritual di tempat ibadah itu. Dipandu oleh tokoh adat setempat untuk meminum dan membasuh muka dengan air setaman yang tersedia di guci.
Setelah usai, warga pun keluar dari masjid dan jalan menuju makam keramat desa tersebut. Iring-iringan warga kemudian diikuti musik tradisional yang oleh masyarakat setempat menyebutnya Gendang Guntur Telu.
Susana pun sedikit berubah, terlebih langit tiba-tiba sedikit mendung. Kondisi ini membuat perjalanan menuju makam pun semakin terlihat santai dan sejuk.
Sesampainya di tempat itu, ritual pun dilaksanakan. Prosesinya tak jauh beda seperti yang dilaksanakan di Masjid Tua. Perbedaannya hanya pada jalan mengelilingi makam.
"Ini merupakan ritual Bejango Buwaraq (permisi, red) ke penguasa alam," kata Tokoh Adat Desa Songak, Murdiyah, di sela kesibukan pelaksanaan ritual adat, Rabu sore (28/10).
Ritual Bejango, lanjutnya, merupakan ritual yang telah ada sejak dulu yang menjadi warisan nenek moyang warga Desa Songak.
Dia menceritakan, konon sekitar abad ke 16, salah seorang leluhur desa yang masih merupakan keturunan Kerajaan Lombok tinggal di desa itu bersama suami dan kesembilan anaknya. Karena kedalaman ilmu agamanya, sang perempuan mampu berkomunikasi dengan dunia luar sehingga ia mengalami moksa, tepatnya di tempat yang oleh orang setempat dijuluki makam keramat. Hanya saja, ia tak membeberkan nama wanita yang telah moksa itu.
Sebelum hilang, leluhur orang Songak itu berpesan jika ada yang mersakan sakit tak sembuh berat, susah dalam kehidupan, bernazar dan terjadi balak (musibah, red) maka datanglah ke makam itu untuk bejango.
Mulailah dari masjid terlebih dahulu lalu ke tempat ini (makam keramat). Dengan membawa Sesasangan dan Sanganan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
"Dari itu tardisi ini dilaksanakan, bahkan sampai saat ini di Desa Songak ini masih kita dapat temui," terangnya.
Pelaksanaan ritual Bejango ini sendiri dilaksanakan hari Senin dan Kamis. Ritus tersebut digelar dua kali yakni pertama Bejango Buwaraq dan Nyaur.
Oleh sebab itu pelaksanaan ritual tersebut digelar dua kali yakni pada Minggu sore dan Rabu sore, hari Senin dan Kamis.
Dia mengatakan, makna ritual ini sesungguhnya mengajarkan antara hidup dan mati. Masjid bagi umat muslim, lanjutnya, merupakan rumah Allah yang harus didatangi ketika masih hidup untuk melakukan ibadah dan permintaan akan kehidupan.
Sedangkan makam (kubur, red) merupakan tempat terakhir bagi kehidupan manusia. Yang didalamnya segala bentuk perbuatan akan dipertanggungjawabkan.
"Makanya bejango ini mengingatkan kita akan hidup dan mati saja," ujarnya.
Namun, imbuhnya, ritual Bejango saat ini dihajatkan untuk dunia yang tengah diserbu oleh virus corona. Di musim pandemi ini, semua warga tengah khawatir akan kehidupan terutama menyangkut ekonomi.
Lantaran itu, ritus ini digelar di tengah menyeruaknya pandemi sebagai salah satu langkah melaksanakan ritual Tolak Balaq.
"Kita niatkan untuk umat manusia yang diserang pandemi. Semoga pandemi ini berakhir, dan dunia cepat pulih," ujar pria yang akrab dipanggil Guru Mur ini.
Inan Gawe Budaya Songak Bejango Bliq, Rof'il Khairuddin mengatakan, acara itu digelar di tengah pandemi dihajatkan agar covid-19 segera berlalu. Dengan begitu, umat manusia di semua belahan dunia kembali tenang dan dunia pun segera sembuh.
Menurutnya, agama dan budaya tak pernah memiliki pertentangan. Keduanya ibarat koin logam yang jika hilang satu maka tak akan dapat dipakai.
Dalam kaidah agama lanjutnya, ada kewajiban bagi umat manusia untuk menjaga keluarga dan keturunannya. Keturuan itu dalam arti luas, tanpa mempertshankan budaya termasuk didalamnya ritual maka agama akan pincang, dan begitu pun sebaliknya.
"Saat ini lagi ramai membenturkan agama dan budaya. Padahal keduanya tidak bertentangan. Harapan kita semoga semua kita sadar pentingnya mempertahankan budaya, dan semoga virus ini berkahir," tandasnya. (sy)