Semua Bermula dari Mimpi
INDAH: Musalla berarsitektur Tiongkok ini tampak berdiri indah di Desa Pakuan, Narmada.
GERUNG--Suatu malam di tahun 1989, Ang Thian Kok bermimpi didatangi sejumlah kiai di rumahnya di Selagalas. Pada malam yang lain, istrinya bermimpi membaca dua kalimat syahadat.
Mimpi itu rupanya menjadi penanda datangnya hidayah. Sebuah petunjuk bagi Ang Thian Kok (65), dan istrinya Tee Mai Fung untuk memeluk agama Islam 18 Mei 1989 silam.
Pasangan suami-istri beretnis Tionghoa ini akhirnya resmi menjadi muallaf dengan nama Islam Muhammad Maliki dan Siti Maryam. Tekadnya memeluk Islam kemudian disempurnakannya dengan menunaikan ibadah haji masing-masing tahun 1990 dan 1993.
Memeluk Islam melalui hidayah yang semula dari luar Islam biasanya akan berdampak pada keyakinan yang sungguh-sungguh. Begitulah yang terjadi pada diri H Maliki dan keluarganya. Semenjak memilih Islam, mereka benar-benar menjalankan ibadah sesuai syariat dan berjuang menebar syiar Islam.
Mimpinya mengenai banyak kiai yang ke rumahnya pun menjadi kenyataan. Tidak kurang dari 200 orang tiap minggu tepatnya malam Kamis datang ke rumahnya untuk mengikuti pengajian yang diisi oleh sejumlah tuan guru maupun ustaz dari Lombok Barat, Lombok Tengah, Kota Mataram maupun Lombok Timur.
Sebagai bukti dakwah diwujudkan dengan memanfaatkan harta yang dimiliki. H Maliki telah mendirikan tiga musalla. Dua musalla unik berarsitektur China yaitu di Jurang Malang Narmada dan di Sangiang Desa Langko Lingsar. Sementara satu musalla bernama Athaaillah di rumahnya Selagalas Mataram.
Musalla di Lingsar diberi nama Abu Bakar Shiddiq dan di Narmada diberi nama Musalla H Maliki.
Musalla H Maliki ini berada di Jurang Malang Desa Pakuan Narmada. Ide pembuatannya berawal dari sebuah majalah yang diterbitkan oleh Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) tahun 2009. Di dalam majalah itu menampilkan sebuah masjid unik yang didirikan oleh Yayasan HM. Cheng Hoo, Surabaya, Jawa Timur dengan sebuah model masjid berarsitektur China yang unik dan bagus.
“Saya panggil kawan China, bisa side (Anda) buat yang seperti ini?, tanya saya,” cerita H Maliki menunjukkan gambar sebuah masjid berarsitektur China di Surabaya kepada temannya waktu itu. “Gampang!,” jawab teman H Maliki tersebut.
Tidak berpikir lama, musalla itupun langsung dibuat. Musalla itu awalnya diberi nama Ridwan dengan posisi yang berada di dataran tertinggi di Jurang Malang.
Namun, baru 3 hari bernama Ridwan, musalla tersebut berganti nama menjadi Musalla Maliki dengan cerita yang juga tak kalah serunya.
“Begitu dipasang malamnya saya mimpi lomba ambil kelapa muda. Saya juara (menang). Saya pecahkan kelapa itu, saya minum airnya, dan terlihat ada tulisan Maliki,” kata H Maliki bercerita.
Tanpa menunda, H Maliki meminta Pak Satral, penunggu Musalla Ridwan, untuk membuka pancang nama Musalla Ridwan dan diganti menjadi Musalla Maliki.
Sementara itu, Musalla Abu Bakar Assiddiq dibangun tanggal 29 Februari 2012 di sebuah tanah berluas 6.600 M2. H Maliki bercerita, ide pembuatan musalla ini berawal dari kunjungan istrinya, Hj Siti Maryam ke Beijing China.
Kala itu, Hj Siti Maryam sempat masuk ke Taman Tian Tan Yen, yaitu sebuah taman yang memiliki satu bangunan di bagian tengahnya. Tempat tersebut dimanfaatkan oleh penganut kepercayan di sana untuk beribadah dengan mengitarinya sebanyak sembilan kali baru berdoa.
“Kalau kita (di Ka`bah) tawaf 7 kali, mereka `tawaf` sembilan kali,” tutur H Maliki.
H Maliki pun ingin membuat musalla yang model atau aristekturnya sama dengan taman Tian Tan Yen tersebut dan kini sudah terwujud.
Musalla Abu Bakar Siddiq ini tidak kalah indah dan uniknya dengan Musalla Ridwan, bahkan berada pada dataran rendah yang kaya air karena di dekatnya ada sebuah sungai. Musholla ini berada di atas sebuah kolam berair bening dengan ratusan ikan yang makin menambah daya tarik.
Selain itu, ada juga beberapa berugak di sekitarnya, tempat wudhu yang bersih, kolam ikan, serta sejumlah pohon buah-buahan. Biaya dari pembangunan ini tidak mau disebutkan oleh H Maliki.
HM Maliki merendah saat ditanya biaya total pembangunan musalla. Namun ia memperkirakan menelan dana miliaran rupiah termasuk untuk membeli tanahnya. Jembatan untuk memasuki musalla ini saja menelan sekitar Rp 100 juta, belum pintu unik musalla senilai Rp 25 juta. (and)
Bersambung...