(Romantisme Cinta, Kesetiaan, Komitmen Persaudaraan Sejati, dan Sikap Senasib Sepenanggungan dalam Nalar Sasak)
Oleh: Dr. Jamiluddin, M.Pd |
“Merpati tak pernah ingkar janji.” setidaknya itu sebuah quote yang sangat romantis. Sarat dengan makna cinta, kesetiaan, pengorbanan, dan heroisme dalam ritme hidup yang kadang redup atau kadang gilang-gemilang.
Paramitha Rusady dalam lirik sebuah lagu mengurai romantisme yang sarat makna itu begitu merdu. “Saat terindah adalah ketika kita merajut kasih. Ketika saling membina cinta tulus murni. Tidak ingkar, juga tiada dusta. Terucap janji, selamanya cinta. Menyatu dalam kalbu. Kau kusayangi. Hanya egkaulah di dalm hidup ini. Oh Tuhan, karunia-Mu Mampukah kuterima semua suratan ini?”
Ternyata bukan hanya Paramitha Rusady, romantisme cinta dan kesetiaan tersebut ternyata telah tergurat dalam ayat-ayat, termasuk yang tersirat di dinding nalar Sasak. Salah satunya pada lelakak cilokaq yang mengundang isak.
“Pamak buak sedak lekok. Tanak Marong jari tembok. Lamun te wah kedung pade besopok. bareng anyong saling sedok.” Dalam Bahasa Indonesia, intisari pantun Sasak ini adalah “kalau memang hubungan telah terjalin intim, suka-duka harus dijalani bersama.”
Nalar Sasak “bareng anyong saling sedok,” awalnya menjadi narasi seksi sebuah ilustasi asmara dan percintaan. Di dalamnya berisi janji dan kesetiaan. Janji yang diperjuangkan dengan susah-payah, bahkan sampai berdarah-darah.. Kesetiaan yang siap diuji hingga mati.
Begitu seksinya, romantisme cinta dan kesetiaan ini akhirnya menjadi idealisme disetiap ikatan persaudaraan, bahkan menembus ruang kongsi bisnis maupun koalisi politik.
Seorang pemerhati budaya menyebut pengaruh nalar “bareng anyong saling sedok,” dengan deskripsi “romantic love and loyality with any aspect always complement each other”
Dalam romantika cinta dan asmara. nalar “bareng anyong saling sedok,” dapat dinikmati pada kisah Romeo dan Juliet yang awalnya melegenda di Italia. Demikian pula adanya pada kisah Rama dan Shinta dalam kitab Ramayana yang bertutur tentang pengembaraan Sri Rama dalam perjuangan dan cinta. Tak kalah serunya pula jika nalar “bareng anyong saling sedok” ini kita hayati dalam lakon pewayangan Jawa yang bertajuk Angling Dharma.
Bagi ummat Islam, romantisme, heroisme nalar “bareng anyong saling sedok,” sekaligus penyerahan diri secara total kepada Tuhan, dapat dipetik dari hikmah kisah “Adam Mencai Cinta” hingga memperoleh pengampunan dan pertemuannya kembali dengan Siti Hawa di Bukit Cinta atau Jabal Rahmah. Sementara itu, dalam legenda Sasak sendiri, nalar “bareng anyong saling sedok,” akan asyik ditelisik lewat membaca ulang lelampan (alur cerita) Dedare Mirek dan Terune Sordang.
Secara khusus, dalam kancah kehidupan masyarakat dan kenegaraan, nalar “bareng anyong saling sedok” ini dapat didalami pada sejarah kehidupan bersama civil society kaum Muhajirin dan Ansor di Madinah. Sebuah model tatanan kehidupan multikulturalisme yang mengikuti dua grand theory, yaitu “Melting Pot” dan Salad Bowl.” Dalam kehidupan civil society yang saling menerima dengan sikap tasamuh tersebut hadir sebuah kultur modern yang integrative dan inter connective dengan nilai theology yang dibawa Rasulullah SAW .
Nalar Sasak “bareng anyong saling sedok” yang sedemikian hebat, mestinya terawat. Bukan saja untuk alasan pelestarian budaya leluhur sebagai simbol peradaban, tetapi argumentasi yang terpenting dan strategis adalah untuk memberi penjaminan perdamaian abadi dan keadilan social. Atmosphere yang aman dan damai akan men-trigger laju pembangunan yang berperadaban. Sementara suasana keadilan social akan menata pemerataan kesejahteraan.
Untung tak dapat dicari, malang tak dapat dihindari. Romantisme, baik dalam quote “Merpati Tak Pernah Ingkar Janji.” atau pada dinding nalar Sasak di atas lama-kelamaan melemah dan mulai punah. Di Institusi keluarga, romantisme ini kurang terjaga. Di lingkungan masyarakat, romatisme ini pun tak cukup terawat. Sementara itu, dalam praktek kenegaraan, romantisme ini abai dalam pemugaran. Pastinya, romantisme ini tergantikan oleh apatisme yang menegasi kodrat “zoon politicon” dan “Katong Samua Orang Basaudara.”
Romantisme “bareng anyong saling sedok” yang setara dengan “janji setia sehidup semati,” sangat riskan jika terlalu cepat untuk dilupakan. Perselingkuhan, sikap masa bodoh, penghianatan, dan mungkin benih-benih perpecahan akan mengangkangi kehidupan. Pertemanan dan atau persahabatan, serta persaudaraan, tak akan lebih strtaegis daripada kepentingan, termasuk syahwar sesaat. Teman mungkin hanya ada di meja makan. Persahabatan mungkin hanya ada ketika menjabat dalam struktur birokrat. Begitu pula saudara, mungkin hanya akan terusung ketika kita jaya. Sungguh-sungguh materialisme dan sekularisme tak urung menggunung sebagai side effect kelupaan dini terhadap romantisme tersebut.
Jika romantisme “bareng anyong saling sedok” terlalu cepat untuk dilupakan, maka capaian-capaian yang direncanakan akan sulit diwujudkan. Alasan sederhananya adalah: setiap penghianatan akan menimbulkan benci, dendam, permusuhan, bahkan mungkin perang. Semua bentul-bentuk akibat penghianatan romantisme “bareng anyong saling sedok” pasti menguras, bahkan melemahkan energi sampai titik terendah dan kemudian menghilangkan daya untuk mengimplementasi setiap ide inovasi.
Dalam al-Qur’an, Surat Muhammad Ayat 22-23, Allah SWT berfirman, : “Jika kamu tengah berkuasa dan menggunakan masa kejayaanmu untuk melakukan pengrusakan di bumi, serta dengan congkak memutus hubungan silaturrahim, Allah akan melaknat dengan membuatmu tuli dan buta.” Dalam ayat ini, Allah Ta’ala sangat tegas memperjelas akibat memutus tali pesaudaraan yang menjadi intisari nalar “ bareng anyong saling sedok.” Kalimat “Alloh akan melaknat dengan membuatmu tuli dan buta,” dapat dipahami sebagai sebuah azab berupa mencabut semua petunjuk atau hidayah sampai orang yang memutus tali persaudaraan atau melawan nalar “bareng anyong saling sedok” tesebut tersesat. Sementara itu setiap orang yang sesat itu akan ditempatkan di neraka.
Betapa side effect atau risiko melakukan penghianatan terhadap romantisme dan komitmen “bareng anyong saling sedok” sangat berat, bahkan sampai akhirat, maka tidaklah salah bila kita mulai kembali menata diri dengan penuh humility (rendah hati) untuk mengukuhkan kembali sikap-sikap yang mengususng persaudaraan sejati. Kalian yang bercinta dan menjalin asmara tak patut bagi kalian terlalu mudah berselingkuh. Kalian yang telah melakukn transaksi dan kongsi, tak baik untuk terlalu gampang berbuat curang. Kalian yang berkoalisi dalam politik, tak baik untuk berlaku licik dan menggunting dalam lipatan, Dalam quote yang simpel, peringatan di atas senada dengan: “Jangan sampai romantisme bareng anyong saling sedok berujung miak bareng maik mesak". Wallohu’alamu.
*Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor dan Tenaga Pendidik di SMAN 2 Selong.