Muhammad Faizin
SELONG--Hidup dalam keterbatasan kemampuan fisik kerap kali dianggap menjadi kelemahan. Keterbatasan kemampuan fisik membuat banyak orang menyerah pada kerasnya persaingan hidup.
Tapi itu tidak berlaku bagi Muhammad Faizin. Sosok penyandang disabilitas asal Dusun Ambung, Kecamatan Masbagik Lombok Timur tetap tegar mengarungi kerasnya cobaan hidup.
Di tengah keterbatasan kemampuan fisiknya, ia berusaha beraktivitas layaknya manusia dengan kemampuan normal. Kondisinya itu dikesampingkan dan terus berusaha dianggap "setara".
Kepada JEJAK LOMBOK, pemuda berusia 29 tahun ini bercerita. Tak terpikir di benaknya menjadi seorang tahfiz (penghafal Alquran).
Tak hanyankarena keterbatasan kemampuan fisik, lilitan masalah ekonomi juga menjadi bagian lain yang datang terus mendera. Karena persoalan ekonomi ini pula, ia mencoba menceburkan diri sebagai pengusaha.
Setidaknya, ada dua usaha pernah dilakoni pemuda ini. Dua usaha itu yakni menjual layang-layang dan sapu lidi. Usaha ini dilakoni tiada lain demi menjaga dapur sang ibu tetap mengepul.
Rupanya, peruntungan dalam berusaha tidak begitu berpihak kepada diri Faizin. Sejak saat itu, ia memutuskan sebagai seorang tahfiz.
Diputuskan menjadi tahfiz, bagi Faizin merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada orang tuanya. Faizin me lngaku sangat ingin membalas Budi baik kedua orang tua yang selama ini telah membesarkannya.
"Semua sudah saya geluti, namun karena kondisi fisik yang lemah, saya memilih menjadi penghafal saja untuk membalas jasa orang tua," ucapnya.
Diakui Hafizin, menghafal hingga 30 juz baginya tidaklah mudah. Selama 8 tahun lamanya, Faizin belajar mengaji bersama teman-teman sebayanya dan mulai menyicil hafalan 5 hingga 8 ayat perhari.
Selain keterbatasan fisik, kendala lainnya ialah pendidikan. Selama ini Faizin tidak pernah duduk di bangku sekolah. Tak heran, pemuda ini cukup kesulitan memahami terjemahan Alqur'an. Apalagi saat itu ia hanya dibimbing oleh orang tuanya, Ariani.
Meski demikian, semangat meraih cita-cita seperti kawan sebayanya yang normal tidak pernah surut. Sebagai motivasi, ia memanfaatkan keahliannya sebagai pelukis kaligrafi yang dipasang di tempat strategis dan sering dilihat. Salah satunya kaligrafi yang ditulis di jam dinding.
"Untuk menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia saya tentu kesulitan karena tidak pernah sekolah. Beruntung ada ibu saya yang mengajarkan saya membaca," ujarnya sedih.
Sebagai penyandang disabilitas, lelaki kelahiran tahun 1989 ini tidak merasa pesimis. Meski tidak berpendidikan, namun dengan kemampuan menghafalnya kini ia diberikan kesempatan menjadi guru ngaji di salah satu pondok pesantren Al-Khair yang tidak jauh dari rumahnya.
Setiap harinya di waktu sore, Faizin selalu menghabiskan waktunya mengajar ngaji di Ponpes Al-Khair yang tidak jauh dari rumahnya itu. Dari sanalah ia dapat serpihan rupiah untuk menyambung hidup. Meskipun nilainya hanya Rp 50 ribu, namun ia bersyukur ada pemasukan.
"Saya tidak pernah berhitung, meskipun hanya Rp 50 ribu, namun saya bersyukur dapat membantu guru ngaji saya di pondok," ungkapnya.
Akhirnya Faizin berharap adanya perhatian pemerintah untuk membantunya walau hanya sekedar menyambung hidup. (hs)