Sempat Bimbang, tapi Keluar sebagai Pemenang
KARYA: Phalonk saat menunjukkan hasil karyanya kepada Gubernur NTB, H Zulkifliemansyah. |
------------------------------
"Event internasional visual art exhibition multi frame bertajuk Bringing Diversity into Harmony in Virtual World menjadi pembuktian bagi Phalonk. Perupa muda ini ditahbiskan keluar sebagai pemenang."
SAEPUL HAKKUL YAKIN -- SELONG
Rambut panjangnya diikat seadanya. Badannya yang gempal dan mulai berlemak dibiarkan tak tertutupi sehelai benang.
Di tangannya tampak tergenggam handphone. Jari-jarinya sibuk menekan ponsel itu dengan seksama. Matanya awas memperhatikan layar barang elektronik yang berada di genggamannya itu.
Begitulah Phalonk, Minggu siang (20/12) tadi. Badannya yang tebal tak mengenakan baju rupanya tak cukup kuat menahan hawa panas udara saat itu. Ia membiarkan angin leluasa menyergap tubuhnya agar terasa lebih sejuk di atas bangku kayu di halaman rumahnya.
Sebelum JEJAK LOMBOK berjumpa. Tepat di simpang empat Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik Lombok Timur sempat menanyakan sosok pemuda yang satu ini.
Rupanya, pemilik nama lengkap Saparul Anwar Phalonk ini banyak dikenal warga setempat. Praktis, tak sulit menjumpai kediamannya yang berada di Dusun Dalem Lauk.
Setiba di kediaman pemuda ini, aneka macam mural dan lukisan sudah menunggu. Lukisan dan mural itu siap mendikte setiap jengkal pandangan tamu-tamu yang datang.
Begitu pun di dalam rumahnya. Beberapa lukisan berkelas di pajang dalam kondisi tergantung.
Dari sambutan pemandangan yang tersaji, dengan mudah ditebak sosok pemuda yang ditemui ini. Ia merupakan seniman perupa. Di usianya yang sangat muda, karya-karyanya telah diakui dunia.
Baru-baru ini Phalonk mengikuti event internasional visual art exhibition multi frame. Kegiatan bertajuk Bringing Diversity into Harmony in Virtual World.
Ajang tiga tahunan ini merupakan ruang kompetisi para perupa seantero bumi. Seniman dari berbagai negara akan menumpahkan seluruh kemampuannya di ajang tersebut demi ditahbiskan sebagai perupa ulung.
Terhadap event itu, Phalonk menuturkan, keikutsertaannya karena diundang langsung pihak penyelenggara. Berbeda dengan sejumlah peserta lainnya yang harus mengikuti sistem call untuk mendaftar di event tersebut.
Pria kelahiran 5 Oktober 1991 ini menuturkan, kegiatan itu digelar Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Sedikitnya ada 161 peserta yang berkompetisi dari 16 negara di dunia.
Bagi Phalonk, mengikuti event sebesar itu tak mudah. Ia juga sempat bimbang lantaran seniman yang mengikuti ajang tersebut barang tentu sudah berkelas.
Belum lagi hasil karya para peserta bakal dinilai tiga kurator kelas dunia. Mereka yakni Dr Shamsu Mohamad dari Universiti Sains Malaysia (USM), Prof Setiawan Sabana dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Helena Hoskova dari Republik Ceko.
Para kurator ini, sebutnya, memiliki wewenang untuk mengkaji. Mulai tema yang diangkat sampai eksibisinya.
"Saya tidak sangka akan bisa masuk terbaik tiga," ucapnya memberi kejutan.
Ia menerangkan, semua aliran seni rupa masuk dalam event tersebut. Dia sendiri merupakan salah seorang perupa beraliran naif.
Sebelum mengikuti event tiga tahunan tersebut, bebernya, awalnya tahun 2014 yang lalu Kriya World di Jogja. Di ajang tersebut dia mendapatkan kategori terbaik se-Indonesia.
Lantaran itu karyanya mulai dilirik seniman lainnya. Di tahun yang sama, dia kembali menyabet gelar serupa. Kali ini pada ajang disnatalis enam negara yakni Malaysia, Hungaria, Singapura, Jerman, dan Indonesia.
"Tahun 2015 baru naik ke galeri nasional dan mendapat penghargaan 100 seniman perupa muda Indonesia," sebut Phalonk.
Berbekal itu, ia mengikuti ajang dunia internasional namun waktu itu belum bisa masuk kategori. Di lain sisi, beberapa tawaran datang agar ia mengikuti ajang serupa. Tak main-main, tawaran itu datang dari Italia dan Spanyol.
Namun ia mengakui, untuk jadi seniman itu tak boleh vakum atau tak eksis dalam dunia seni rupa. Jika vakum, bersiap-siaplah nama tenggelam, atau kalau tidak, akan terkubur dengan sendirinya.
Seperti halnya dimensi kehidupan yang lain sejak kepungan pandemi virus Corona. Banyak event bertaraf internasional yang vakum. Hanya event trinale multi frame yang digelar, itupun secara daring.
"Saya dapat undangan itu sejak tahun 2015 lalu sampai sekarang," ujarnya.
Sarjana Seni Rupa Institute Seni Indonesia ini menceritakan, awalnya berangkat kuliah ke Jogja ingin mengambil jurusan seni musik. Namun niatan itu berubah setelah melihat para seniman sedang asyik memamerkan karyanya.
Pada waktu itu, ujarnya, ia heran hasil karya seni yang berukuran kecil harganya sampai jutaan rupiah. Lantaran itu ia pertama kali tertarik dan tergiur.
Selama ini, bebernya, ia mengaku tinggal di Jogja dan karena pandemi. Setelah mulai relatif mereda, ia kembali ke tanah kelahirannya, di Lombok.
"Ketimbang di sana tidak ada kerjaan dan tidur saja, lebih baik balik dulu," sebutnya.
Pria 29 tahun ini menuturkan, sekembalinya ke Lombok, ia membentuk komunitas Senine. Komunitas ini dihajatkan menjadi wadah bagi para seniman perupa.
Komunitas itu, lanjutnya, sebagai wadah diskusi dan berbagai pengalaman. Kendati diakuinya hal itu kurang produktif, tapi cukup memiliki efek. Wadah itu hanya untuk menyalurkan hobi melukis.
Komunitas Senine ini dihajatkan untuk para perupa di Lombok Timur. Sementara untuk di NTB, ia membentuk komunitas bernama Sak Art.
Terhadap aktivitas berkesenian yang dilakoninya ini rupanya telah mendatangkan apresiasi luar biasa. Ratusan orang yang berkunjung untuk melihat karya seni lukis di tempatnya.
"Kunjungan sudah sampai seratusan lebih. Alhamdulillah sudah banyak pengunjung dari warga sampai dengan media juga tertarik," tandasnya. (*)