Anak Brilian, Aktivis Boedi Oetomo dan Menentang Perjodohan
Dokter Soedjono (tengah) bersama istrinya dan seorang ahli antropologi, Prof. Kleiweg de Zwaan. (Foto: Troopen Holland Museum). |
---------
"Tak hanya memiliki otak brilian, Soedjono kecil juga rupanya dibekali watak penentangan. Penentangannya ini terlihat saat ia mencoba dijodohkan dengan perempuan sesama kalangan ningrat."
FATHUR ROZIQIN — MATARAM
Badannya melepuh. Luka bakar hampir di sekujur tubuhnya mengantar kedatangan Soedjono di STOVIA, Jakarta.
Kondisinya yang memprihatinkan tak sedikitpun menyurutkan tekad Soedjono memasuki sekolah kedokteran untuk kaum pribumi itu. Alih-alih mengiba kasihan, Soedjono nekat mengikuti tes di sekolah tersebut.
Pihak sekolah sebenarnya sudah melarang. Mereka tidak tega melihat kondisi Soedjono yang tak karuan. Hampir saja ia “diapkirkan” dan tak boleh mengikuti tes.
Berbekal kemauan keras, bersama 43 anak lainnya dari seantero nusantara ia pun mengikuti prosesi tes. Ia diterima di sekolah dan dinyatakan lulus saat usianya masih 13 tahun.
Sebelum berangkat ke STOVIA, Soedjono saat hendak menaiki kapal sempat bersitegang dengan ibu sambungnya (ibu tiri). Peristiwa itu terjadi di pelabuhan saat ia hendak menaiki kapal yang ditumpangi. Ibu sambungnya inilah yang menumpahkan kukusan nasi ke badan Soedjono.
“Itulah yang menjadi penyebab kenapa badannya melepuh seperti luka bakar,” tutur cucu Raden Soedjono, Roro Neni Kurnia, dalam buku resume berjudul “Dr. R. Soedjono, Dokter Pertama di Lombok yang ditulisnya untuk mengenang sang kakek.
Neni Kurnia sendiri merupakan cucu R. Soedjono dari anak pertamanya bernama R. Soeweno. Sang ayah merupakan garis keturunan Soedjono dari hasil perkawinan bersama Ilasih.
Di dalam buku yang sama, Neni mengisahkan betapa berat kehidupan Soedjono kecil. Sosok sang kakek yang merupakan keturunan ningrat Jawa ini lahir di Karang Anyar, Kebumen Jawa Tengah. Ia lahir pada tahun 1879.
Kendati lahir di Jawa, rupanya memori masa kecilnya dibesarkan di Riau, Sumatera. Di sini ia tinggal bersama sang ayah, Raden Yoedodiwiryo dan ibu sambungnya Siti Saadah Salim.
Hidup bersama sang ibu sambung rupanya tak membuat nasib Soedjono cukup beruntung. Ia tak sepenuhnya mendapatkan ayoman kasih sayang yang seharusnya didapat untuk anak seusianya.
Kendati begitu, Soedjono cukup beruntung. Otaknya yang brilian selalu mengantarkannya meraih prestasi akademik luar biasa. Jenjang pendidikan dasar di HIS (Hollandsch Indlandsche School) dan MULO (Meer Uitgenreid Lager Onderweidjs) dilaluinya dengan mudah. Ia selalu menonjol di antara teman-teman sekolahnya.
Pemerintah Hindia Belanda kala itu yang melihat potensi besar di dalam diri Soedjono kecil rupanya tak ingin membiarkannya melepas studinya. Ia pun kemudian diundang mengikuti tes sekolah kedokteran di STOVIA di Jakarta.
Seperti di jenjang sekolah dasar, Soedjono juga menonjol di STOVIA. Bahkan, ketika memasuki fase akhir studi di sekolah itu, ia dinyatakan lulus bersama 6 kawan lainnya.
“Hanya 7 orang yang lulus dengan lama studi sekitar 8 tahun. Kakek menjadi dokter di usia yang sangat muda, yakni 21 tahun,” kisah Roro Neni.
Selama menimba ilmu di STOVIA, Soedjono tidak melulu konsen untuk studinya. Ia juga tertarik pada pertanian, budaya dan kesenian.
Di lain waktu, Soedjono juga menerjunkan diri dalam pergerakan Boedi Oetomo. Sebuah pergerakan politik yang didirikan Dr Soetomo dan Dokter Wahidin Soediro Husodo. Dua sosok ini belakangan dikenal sebagai Pahlawan Nasional.
Namun karena lebih menyukai hal-hal yang bersifat praktis dan aplikatif, Soedjono memilih keluar dan tidak aktif dalam pergerakan itu. Keluarnya Soedjono rupanya berbuah kemarahan dari teman-temannya kala itu.
Selepas menimba ilmu, Soedjono kembali ke Sumatera. Merasa Soedjono yang sudah cukup dewasa dan memasuki usia nikah, sang ibu menjodohkannya. Ia dijodohkan bersama seorang perempuan berdarah biru.
Mengetahui dirinya yang dijodohkan, sikap penentang Soedjono kembali kumat. Tegas ia menolak perjodohan yang dilakukan sang ibu dan berujung gagalnya pernikahan.
Alih-alih sudi dijodohkan, Soedjono rupanya kepincut dengan perempuan Eropa. Perempuan itu dinikahinya, tapi usia pernikahan keduanya tak berlangsung lama. Keduanya bercerai.
Neni mengisahkan, perceraian sang kakek dipicu lantaran tak suka gaya hidup perempuan Eropa. Sang istri saat itu dianggap lebih banyak menyukai hal-hal berbau kosmetika dan kecantikan.
Kesan hidup glamor macam itu rupanya tak sesuai dengan hati nurani Soedjono. Ia lebih senang memilih hidup bersahaja dan merasakan getir penderitaan orang-orang disekitarnya. (*)
Bersambung…