SAMPAH: Beginilah rupa pemandangan sampah di salah satu sudut Kota Mataram.
MATARAM--Sepekan belakangan ini berbagai kritik muncul terhadap program Zero Waste yang dicanangkan Pemprov NTB. Salah satunya datang dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, Madani Mukarrom mengatakan, kritik terhadap persoalan sampah patut diapresiasi. Persoalan terbesar pengelolaan sampah disebutnya ada pada masalah cara pikir masyarakat.
"Alternatif-alternatif bagaimana pengelolaan sampah yang baik harus terus diperbincangkan. Dampaknya agar timbul kesadaran masyarakat," ucapnya, Jumat (12/2).
Membincang persoalan sampah, jelasnya, butuh dikolaborasi dengan semua pihak. Dengan demikian diharapkan akan ada penyelesaian terhadap kendala-kendala yang selama ini muncul.
Kolaborasi, lanjut Madani, sejak awal memang menjadi kunci utama program Zero Waste. Praktis, hal pertama yang dilakukan Pemprov meneken Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan seluruh bupati wali kota.
Tidak hanya pemerintah daerah, Pemprov NTB disebutnya secara paralel menggandeng seluruh komunitas lingkungan. Bahkan mereka dikalim difasilitasi berinteraksi dengan desa kelurahan.
Namun demikian, pihaknya menyadari keterbatasan kewenangan dan anggaran yang dimiliki. Alhasil, dari sisi proporsi anggaran, 70-87 persen dari alokasi anggaran diperuntukkan untuk Tempat Pemrosesan Akhir Regional (TPAR).
“Tanpa kabupaten kota, tidak mungkin capaian Zero Waste yang berwujud hari ini bisa dicapai. Kami ucapkan terima kasih kepada bupati wali kota, kepala desa, dan seluruh komunitas warga atas kolaborasinya,” ucap Madani.
Dari sisi regulasi persampahan, lanjutnya, ada dua model kewajiban pengelolaan. Yakni pengurangan sampah dan penanganan sampah.
Target dari kedua jenis pengelolaan sampah ini disebutnya sudah ditetapkan secara nasional. Ketetapan itu melalui Perpres 97/2019 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (SRT) dan Sampah Sejenis Rumah Tangga (SSRT).
Dimana orovinsi dan kabupaten kota yang diwajibkan menetapkan Jakstrada (Kebijakan dan Strategi Daerah) SRT dan SSRT juga sudah dilakukan. Sejauh ini, sisa satu kabupaten saja yang belum memiliki Jakstrada, yakni Dompu.
“Kami terus memperkuat kabupaten kota dalam hal strategi penanganan dan pengurangan SRT dan SSRT,” jelasnya.
Madani mengaku bersyukur, sejak program ini bergulir, ada peningkatan persentase pengelolaan sampah SRT/SSRT. Dari sisi penanganan SRT/SSRT, jumlah sampah yang ditangani hanya 20 persen tahun 2018 atau 513,55 ton perhari.
Jumlah ini meningkat menjadi 37,63 persen atau 980,35 ton di tahun 2020, sedangkan tahun sebelumnya 34,91 persen. Yang paling menggembirakan adalah di sisi angka pengurangan SRT/SSRT, sebab sebelum program ini digencarkan, volume sampah yang ditangani dengan strategi pengurangan atau sampah yang diolah tanpa masuk ke TPA hanya 0,5 persen atau 12,8 ton saja.
"Angka ini meningkat 1.400 persen atau 14 kali lipat, menjadi 7,1 persen di tahun 2020," ucapnya.
Sejumlah program pengurangan SRT/SSRT diantaranya Bank Sampah, Lubang Biopori, Compos Bag, BSF (Black Soldier Fly) Mandiri, TPS3R, pengelolaan sampah mandiri. Selain itu, ada pula pengelolaan sampah skala lingkungan, hingga aktivitas di lembaga-lembaga pendidikan.
“Soal aplikasi LESTARI, itu kan hanya tools saja. Ini justru wujud transparansi kami atas program selaku lembaga publik. Semua bisa mengawasi dan memperoleh akses informasi,” tandasnya.
Baginya, peningkatan ini masih butuh kerja lebih keras dan kolaborasi semua pihak. Tujuannya agar target-target seperti apa yang menjadi visi Zero Waste bisa terwujud.
Lebih lanjut, mantan Kepala KPH Rinjani Barat ini menegaskan, jika hanya mendorong pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga hanya secara konvensional saja, maka progres pengelolaan sampah di NTB, tidak akan mengalami peningkatan signifikan. Apalagi tetap bertahan dengan strategi hanya memperbanyak truk angkut sampah agar semua sampah diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Kemampuan fiskal daerah disebutnya tidak akan pernah cukup untuk itu. Seluas apapun TPA yang akan dibangun, maka tidak akan cukup menampung sampah yang ada.
Semakin tinggi volume sampah yang diangkut ke TPA, maka akan semakin mempercepat umur operasional TPA. Sehingga tidak menutup kemungkinan, setiap 10 tahun akan lahir TPA baru.
“Upaya konvensional seperti ini tetap dilakukan, tetapi juga harus diperbanyak upaya lain. Ini yang jadi fokus kami. Pengurangan SRT/SSRT ini yang kami optimalkan,” tandasnya.
Visi Zero Waste, lanjut Madani, bagaimana sampah yang diangkut ke TPA kian minimal. Bahkan ditargetkan hanya residu saja yang dibawa ke TPA.
Strategi-strategi pengelolaan sampah mulai diperbanyak, sebab tanpa strategi yang berkelanjutan, biaya angkut sampah akan kian meningkat.
Alih-alih sepakat dengan penanganan sampah dengan sistem angkut, ia justru yakin suatu saat tidak akan lagi tempat mendirikan TPA. Ini seiring peningkatan jumlah populasi dan produksi sampah.
Berbagai inovasi juga dilakukan di UPT TPA Regional Kebon Kongok dalam mengelola SRT/SSRT. Pengelola mulai melakukan upaya-upaya untuk memperpanjang umur TPA.
Mulai dari pemilahan plastik, produksi kompost, serta metode BSF (Black Soldier Fly) menghasilkan magot untuk pakan ternak dan ikan.
Ada juga produksi pelet sampah untuk keperluan bahan bakar. Dinas LHK sudah menjalin kerjasama dengan PLN agar pelet sampah yang dihasilkan diserap untuk dimanfaatkan sebagai tambahan bahan bakar batu bara di PLTU Jeranjang.
Yang terbaru, Dinas LHK juga akan mulai mengelola sampah/limbah B3 (Bahan Beracun, Berbahaya) seperti limbah medis yang dihasilkan fasilitas kesehatan.
Selama ini, Pemprov NTB disebutnya mengeluarkan banyak biaya membawa B3 ini untuk dihancurkan di luar daerah. Sekarang, Dinas LHK sudah memiliki fasilitas penanganan sampah B3 di Sekotong Lombok Barat.
“Sekarang masih dalam tahap uji alatnya dan perizinan di pusat. Tahun ini kami targetkan operasional,” harap Madani. (jl)