Ilustrasi |
MATARAM--Setelah melalui penggodokan yang cukup panjang, Gubernur NTB, Zulkieflimansyah akhirnya menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 88 Tahun 2020. Pergub ini tentang Pengelolaan Sumber Daya Lobster di wilayah NTB.
Pergub tersebut sekaligus mencabut Pergub Nomor 21 Tahun 2006 tentang Pengendalian Penangkapan dan Pemanfaatan Induk Lobster di Wilayah Nusa Tenggara Barat.
Dalam Pergub ini terdapat 18 pasal yang mengatur pembudidayaan, wilayah tangkap, benih lobster dan ekspor benur serta sanksi bagi pengekspor yang tidak mematuhi aturan.
Pada pasal 12 mengatur tentang ekspor lobster.
Pada pasal ini eksportir selain memiliki izin usaha juga wajib menyediakan restocking 2 persen hasil budidaya lobster serta memberikan laporan berkala hasil ekspor pada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB.
Pada pasal 15 mengatur sanksi administratif. Pada pasal ini para penangkap harus mematuhi pasal 9,10,11 dan 12.
Adapun pada pasal 9 mengatur tentang penangkapan benih lobster atau lobster muda dimana penangkap harus terigistrasi di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi yang di ajukan ke Dirjen Tangkap KKP RI.
Sedangkan pada pasal 10 mengatur tentang tata cara penangkapan yang ramah lingkungan serta sesuai dengan zona area tangkap.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, H. Yusron Hadi, mengatakan semangat Pergub tersebut untuk membangun tata kelola yang baik dan berpihak kepada penguatan keterlibatan kepentingan masyarakat lokal dan konservasi terhadap sumberdaya lobster.
"Semangat Pergub ini adalah membangun tata kelola yang baik berpihak kepada penguatan keterlibatan masyarakat lokal dan konservasi terhadap sumberdaya lobster yang ada di daerah tanpa abai dengan berbagai ketentuan yang lebih tinggi tentang pengaturan zonasi, pembentukan kelompok nelayan, pengaturan penangkapan, budidaya, pengumpulan dan perdagangan termasuk upaya-upaya pengawasan dan evaluasi," jelasnya, di Mataram, Jumat, (26/2).
Ia menjelaskan, Pergub tersebut dibentuk untuk menguatkan peran dan kepentingan masyarakat atau nelayan lokal. Juga, upaya membangun sustainability (keberlanjutan) sumberdaya lobster di daerah.
"Selian itu sebagai upaya membangun sustainability sumberdaya lobster di daerah kita akibat adanya berita-berita yang berkembang mengenai budidaya maupun perdagangan benih," katanya.
"Kita melihat aturan yang ada dari pemerintah pusat, sebelum itu dihentikan sementara waktu ada juga pengaturan yang sifatnya normatif baik dalam tata kelolanya patut diperkuat di daerah," ujarnya.
Dijelaskan, jika budidaya lobster dilakukan di zona budidaya, maka perlu melakukan revisi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) untuk menyesuaikan zona budidaya sesuai perkembangan.
"Seperti misalnya budidaya dilakukan di zona budidaya sehingga kita perlu merevisi RZWP3K untuk mengatur zona budidaya yang sesuai dengan perkembangan saat ini," tukasnya.
"Pembentukan kelompok nelayan kan memang sudah ada ketentuannya diketahui oleh desa dan penyuluh. Pengaturan penangkapan alatnya, restocking misalnya nanti dibuka keran lagi harus di NTB pun budidaya harus dilakukan di zonanya," jelasnya.
Budidaya di zona tersebut tentu saja melalui hubungan mitra dengan nelayan lokal. Juga pengumpulan dan perdagangan harus bermitra dengan masyarakat lokal.
"Termasuk upaya-upaya pengawasan dan evaluasi yang bersinergi dengan kabupaten/kota dan pemerintah pusat," tandasnya.
Terkait dengan rencananya menggodok Perda, Yusron mengatakan saat ini akan melihat implementasi Pergub tersebut terlebih dahulu. Sehingga, dapat menyesuaikan jika masih terdapat poin-poin yang dinilai belum tepat.
"Belum kita berpikir ke sana. Kita lihat dulu implementasinya, kalau masih ada hal-hal yang kurang pas ya dibenahi," katanya. (jl)