H. Sirojuddin
SELONG-- Belakangan dunia pendidikan tengah menjadi perbincangan hangat. Tapi bukan lantaran perubahan kurikulum, namun prihal atribut sekolah.
Merespon hal tersebut, tiga menteri yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makariem bersama Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, resmi menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB).
Lahirnya aturan itu sedianya menjadi solusi atas polemik di dunia pendidikan. Namun justru sebaliknya, membuat suasana semakin panas.
Terkait persoalan itu, Kepala Kemenag Kabupaten Lombok Timur, H Sirojudin angkat bicara. Dia mengatakan, selama ini di dunia tak pernah ada pemaksaan prihal atribut. Baik itu yang di madrasah atau sekolah secara umum.
"Mana ada pernah ada surat edaran. Bahkan saya tidak tau warna khas yang dimaksud," terang H Sirojudin, kepada awak media saat ditemui di ruang kerjanya, Jum'at (5/2).
Mungkin, kata dia, melihat fenomena yang terjadi di madrasah belakangan ini. Yang mengarah pada adanya paksaan, sehingga SKB tiga menteri ini lahir.
Dia mengatakan, dirinya melihat di Kota Mataram misalnya, tiap hari Jum'at siswa menggunakan atribut sekolah sesuai dengan agamanya masing-masing.
Namun di Lombok Timur, lanjutnya, kemungkinan tak ada siswa yang non muslim. Terlebih lagi di sekolah yang notabenenya madrasah. Bahkan di sini, menurutnya satu warna.
Menurutnya, memang tak boleh memaksa menggunakan atribut tertentu.
"Merarik (menikah) saja tak boleh dipaksa, apalagi orang yang menggunakan seragam," selorohnya.
Dirinya menegaskan, sampai saat ini belum menemukan adanya aturan yang memaksa menggunakan seragam tertentu.
Menurutnya, kemungkinan adanya rasa paksaan itu ada di tengah masyarakat yang mengharuskan menggunakan seragam dengan ciri khas tertentu. Lantaran kekhasan ini tengah berkembang, dan sifatnya dipaksakan.
"Kami belum ada aturan yang seperti itu," ujarnya. (kin)