MASIH UTUH: Pohon Bila Kembar di Desa Pengadangan hingga kini masih bisa dijumpai dan masih utuh.
SELONG -- Setiap daerah pasti ada cerita rakyat yang berkembang. Kisah-kisah itu sering kali berangkat dari cerita rakyat setempat.
Kadang kebenaran cerita itu acap kali dianggap sebagai mitos. Penyebabnya kebenaran kisah itu tak dapat dibuktikan. Kendati ada peninggalan ataupun bekas jejak seorang tokoh yang tengah diceritakan tersebut.
Seperti sebuah pohon yang disebut Bila Kembar oleh masyarakat Desa Pengadangan Barat, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur.
Senin (22/3), JEJAK LOMBOK mencoba menulusuri cerita tersebut. Media ini tertarik lantaran lantaran kisah yang satu ini lekat dikaitkan dengan sebuah peristiwa magis di wilayah tersebut.
Awak media inipun mencoba menemui salah satu tokoh di desa itu. H Sinarep nama tokoh tersebut.
Sosok yang satu ini merupakan mantan Kaling Desa Pengadangan. Dari penuturannya banyak diketahui kisah tentang kedua pohon tersebut.
H Sinarep menceritakan, kedua pohon tersebut tak bisa lepas dari kisah seorang putri bangsawan pada masa lampau. Cerita ini masih bisa dijumpai dari mulut ke mulut masyarakat setempat.
Konon, tuturnya, peristiwa itu benar terjadi. Tak hanya bukti berupa dua pohon yang masih utuh. Namun juga, nama tempat dalam kisah itu masih dapat ditemui dan dikunjungi.
Cerita kedua pohon ini, terang pria 70 tahun itu, berawal dari kisah dua orang putra kerajaan yang disebut sebagai Daha dan Keling. Hanya saja ia pun tak tahu persis tahun berapa kejadian itu berlangsung.
"Nama datu itu Daha dan Keling. Keduanya ingin memiliki anak laki-laki," tuturnya.
Keduanya berjanji jika memiliki anak yang sesuai dengan permintaan, mereka hendak kembali ke tempat tersebut membuat sesajian. Sesajian yang bakal dipersembahkan yakni likuq dan buaq kelopok (daun sirih dan buah pinang, Red).
Singkat cerita, kedua bersaudara itupun memiliki anak. Daha memiliki anak laki-laki, sedang Keling memiliki anak perempuan.
Datu Daha yang memiliki anak lelaki memenuhi nazarnya. Tentu kondisi berbeda pada Datu Keling, ia tak memenuhi janjinya.
Tragis! Datu Keling yang tak penuhi nazar harus menerima konsekuensi. Anaknya dibawa terbang oleh angin sampai di sebuah tempat. Anak tersebut dipungut dan diasuh oleh sebuah keluarga yang tak memiliki keturunan.
Bagi sepasang suami istri tersebut, menemukan seorang bayi tentu menjadi anugerah. Mereka sangat kegirangan. Anak itupun diberi nama Cilinaya.
"Sedangkan anak Datu Daha bernama, Raden Mergasih," ucapnya.
Roda waktu terus berputar, masa remaja kedua anak itupun tiba. Seiring usia, Raden Mergasih bermimpi bulan purnama turun ke pangkuannya.
Rupanya, isi mimpinya itu diceritakan kepada ayahnya. Sang ayah pun memanggil sembilan ahli tafsir mimpi. Dari semuanya menjawab, bahwa sang Raden Mergasih bakal mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Kalau Raden mau mancing pasti dapat ikan. Begitu pula kalau ingin berburu pasti mendapatkan buruannya," ucapnya.
Raden Mergasih pun mencoba membuktikan arti mimpi itu. Namun naas apa yang diramalkan pun tak kunjung terbukti.
Saat memancing tak ada satu pun didapatinya seekor ikan. Begitu pula saat berburu, tak satu binatang buruan ia dapatkan.
Jangan kan burung, kodok pun tak ada yang lewat dihadapannya selama hampir satu tahun melakukan perburuan. Padahal para prajuritnya, sudah membawa semua jenis burung menjadi umpan agar burung lain bisa datang.
Ramalan tinggal ramalan. Ia merasa kesal dengan perburuan yang ia lakukan. Ia pergi meninggalkan prajuritnya di tengah hutan dan terus berlalu menelusuri arah angin.
Setelah seharian berjalan, ia pun mendengar suara dari kejauhan, suara seorang gadis. Suara itu mengetuk hatinya.
Di sela-sela suara itu, ia juga mendengar alat mesin tenun. Rupanya suara itu berasal dari alat penenun yang tengah digunakan oleh bibi Cilinaya," ungkapnya.
Raden Mergasih pun menemukan sumber suara tersebut. Sumber suara itu rupanya berada di sebuah rumah milik warga setempat.
Ia pun meminta kepada pemilik rumah membukakan pintu. Tak lama berselang pintu pun terbuka.
Tak lama dalam rumah tersebut, ia bertanya kepada pemilik rumah, siapa yang menenun tadi. Pertanyaan itu terlontar lantaran suara alat tersebut terdengar iramanya sangat indah.
Pemilik rumah pun mengelak, ia mengatakan tak memiliki anak. Ia mengaku mandul. Namun Raden Mergasih tak percaya begitu saja. Penyebab ia tak percaya karena mencium wewangian yang biasanya digunakan seorang wanita yang masih muda.
"Waktu itu Cilinaya disembunyikan di bawah alat penenun itu," ujarnya.
Lantaran kecurigaan itu, sang Raden pun memutuskan mencari ke setiap sudut rumah. Sayang, ia tak menemukan siapa-siapa. Namun saat hendak balik dan melewati alat penenun rambut Cilinaya tersangkut di keris sang Raden.
Raden yang terperanjat rupanya langsung memeriksa alat tenun itu. Di kolong mesin itu, ada seorang gadis jelita. Apes bagi keduanya, saat beradu tatap, mereka malah pingsan pada pandangan pertama.
Mudah ditebak kenapa mereka pingsan. Keduanya saling jatuh cinta. Mereka pun minta dinikahkan. Hanya saja permintaannya sontak membuat pemilik rumah itu bingung lantaran sang Raden keturunan datu (bangsawan) terhormat.
Di lain sisi, ia tak mungkin menolak permintaan seorang Raden. Ia pun berat hati menikahkannya.
Setelah sekian lama menikah sampai mempunyai anak. Sang datu memerintahkan para abdinya untuk mencari keberadaan Raden Mergasih. Salah seorang pangeran pun menemukannya dan langsung ingin membawa pulang.
"Keluarganya pun dikatakan tidak mungkin anak datu menikah dengan anak kangkung," kisah H Sinarep.
Cilinaya tersinggung dengan ucapan tersebut. Ia merasa merana dengan perlakuan tak adil macam itu. Cilinaya minta dihunuskan pedang tepat ke jantungnya.
"Jika darah saya merah, bearti saya keturunan kangkung. Tapi kalau darah saya putih dan mengeluarkan wewangian, maka saya anak seorang datu juga," bebernya.
Utusan pun menusuknya tepat di jantung Cilinaya. Ternyata darah yang keluar putih dan mengeluarkan harum wewangian. Utusan pun pingsan dibuatnya oleh sebab wewangian yang keluar dari tubuh perempuan tersebut.
Darahnya pun tak jatuh ke tanah. Darah Cilinaya malah melawan gravitasi bumi dan terus naik ke atas langit yang menyerupai awan.
"Dia dibunuh di anatara pohon Bila Kembar itu," sebutnya.
Si Raden pun bingung. Setelah berhari-hari menunggu mayat Cilinaya, ia mendengar bisikan suara. Ia diminta untuk mengikat tubuh mayat tersebut di sebuah batang kayu.
Ini dilakukan tak lain semua sebuah harapan. Jika burung gagak putih turun, maka orang yang dicintainya akan hidup kembali.
Ia pun diminta untuk langsung menarik jasad tersebut. Namun jika gagak hitam turun, Mergasih diminta mengikhlaskan kepergian Cilinaya.
Di luar dugaan, harapan Mergasih terkabul. Seekor gagak putih menyambangi jasad Cilinaya yang telah meregang.
H Sinarep menuturkan, dari ihwal cerita itulah kemudian pohon tersebut dinamakan Bila Kembar. Keduanya hidup berdampingan dengan tinggi dan usia yang sama.
Saat awak media ini berada di lokasi, ada yang menarik dari pohon tersebut. Yakni dapat sebagai penanda datangnya pergantian musim.
Jika daunnya berguguran, maka pertanda akan datang musim kemarau. Namun sebaliknya, ketika rimbun daun akan datang musim penghujan.
"Dan kejadian itu masih sampai sekarang," ujarnya.
Terpisah, Kaur Perencanaan Desa Pengadangan Barat, Muhlis mengamini kejadian tersebut. Menurutnya, peristiwa itu masih dapat disaksikan sampai saat ini.
Pohon itu, sebutnya, memiliki tinggi daan rupa yang sama. Usianya diduga sangat tua mencapai ratusan tahun dan oleh warga, pohon itu dijuluki Bila Kembar.
Menurutnya, di tempat tersebut juga dapat ditemui salah satu sumber mata air. Namun, saat ini sudah tertutup.
Selain sebagai penanda pergantian musim, tempat ini juga sering digunakan sebagai lokasi halwat dan berobat bagi orang tertentu.
"Pohon ini terletak di tanah warga dan sudah kita kelilingi menggunakan bambu. Pohon ini kita abadikan sebagai nama dusun di sini," tandasnya. (kin)