DISKUSI: Wakil Gubernur NTB, Hj Sitti Rohmi saat memimpin diskusi terkait penyakit menular.
GERUNG -- Penyakit menular di Indonesia baik Tuberkulusis (TB) terlebih Covid-19 kerap kali disalah artikan oleh masyarakat. Mengatasi penyakit menular sesungguhnya bagaimana terlebih dahulu sesegera mungkin menemukan kasus.
Namun sebaliknya yang terjadi di masyarakat yakni berusaha menghindari untuk tidak menemukan kasus. Cara berpikir masyarakat seperti ini diakui sesuatu yang sulit untuk dirubah.
“Karena itu kita di NTB terus-menerus sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Dengan begitu tindakan-tindakan promotif preventif yang cepat bisa dilakukan dengan baik," ucap Wakil Gubernur NTB, Hj. Sitti Rohmi Djalillah, Senin (8/3), di Jayakarta Hotel, Senggigi, Lombok Barat.
Posyandu berbasis keluarga, jelasnya, merupakan salah satu solusi menangani masalah kesehatan di NTB. Termasuk penyakit menular seperti TB.
Lontaran ini disampaikan pada Pelatihan Peningkatan Kapasitas bagi Sub Recipient Program Eliminasi TB-GF ATM Principal Recipient Konsorsium Komunitas PenaBulu –STP se Indonesia.
Persoalan TB di Indonesia, termasuk di NTB disebutnya menjadi PR besar yang harus diselesaikan bersama-sama. Cara paling efektif yang selama ini dilakukan di NTB yakni dengan melakukan edukasi dan sosialisasi.
Proses sosialisasi itu dilakukan terus-menerus hingga ke tingkat dusun melalui gerakan Posyandu yang setiap bulan dilaksanakan.
Melalui Posyandu tidak saja persoalan kesehatan yang bisa diedukasi. Nnamun persoalan lain pun bisa disosialisasi seperti lingkungan, ketenagakerjaan, sosial kemasyarakatan dan lain sebagainya.
Hj. Rohmi di hadapan peserta pelatihan dari 30 provinsi se Indonesia ini juga mengungkapkan, Pemprov NTB saat ini tengah giat-giatnya melakukan Revitalisasi Posyandu. Langkah ini dilakukan menuju Posyandu Keluarga yang mandiri.
Melalui Posyandu dinilai bisa dilakukan intervensi berbagai program dan kebijakan pemerintah daerah. Posyandu dihajatkan untuk dibentuk menjadi lebih power full dan bisa menjadi pusat pendidikan berbasis dusun.
“Kalau ini bisa kita intervensi dengan baik dari Posyandu berbasis dusun akan lebih gampang untuk memotretnya, mengevaluasi dan memonitornya. Nah itu yang berusaha kami lakukan di NTB," imbuhnya.
Ia pun menyebut jika gerakkan Posyandu ini agar Posyandu juga menjadi pusat edukasi tidak hanya masalah kesehatan saja. Namun juga masalah-masalah sosial dan lainnya.
Hj Rohmi mengapresiasi pertumbuhan Posyandu di NTB yang hingga saat kini sudah mencapai 7 ribu. Jumlah ini tercatat sejak digerakkannya Posyandu Keluarga tahun 2019.
"Terjadi penambahan Posyandu setiap tahunnya kurang lebih 2000 Posyandu," sebutnya.
Takupa ia menyampaikan rasa syukur bahwa respon 10 kabupaten kota di NTB tahun 2021 ini terhadap gerakan Posyandu cukup besar. Dimana setiap Pemda komit menjadikan Posyandu Keluarga di masing-masing daerah.
Ia juga menjelaskan, pemerintah desa tidak saja mengurus persoalan ketesediaan infrastruktur. Sebut saja seperti kantor desa, namun juga memikirkan persoalan kesehatan, pendidikan, lingkungan, sosial yang muara edukasi dan sosialisasinya bisa dilakukan melalui Posyandu Keluarga.
”Karena itu kami di NTB menggandeng stakeholder termasuk NGO lainnya untuk mensukseskan program kesehatan," bebernya.
Upaya tersebut diungkapkan dengan segala persoalannya melalui wadah Posyandu Keluarga. Apapun persoalan yang dihadapi diyakini akan menemukan jalan keluar yang terbaik dan terasa ringan.
Direktur Nasional Recipient Program Eliminasi TB-GF ATM Principal Recipient Konsorsium Komunitas PenaBulu-STP, Eni Ahmad melaporkan, Program Komunitas Eloiminasi TBC Indonesia hadir untuk strategi program tuberkulosis nasional.
Program ini untuk mendukung program nasional pencegahan TBC, peningkatan akses layanan tuberkulosis bermutu dan berpihak pada pasien. Selain itu untuk pengendalian infeksi dan optimalisasi pemberian pengobatan.
Teasuk pula, pencegahan TBC dan peningkatan peran serta komumitas mitra dan multisektor lainnya. Langkah ini demi dalam eliminasi TBC dan pemamfaatan hasil riset dan teknologi skrining, diagnosis dan tata laksana TBC.
Peserta pelatihan ini diikuti 30 orang dari 30 provinsi di Indonesia dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 6 hingga 10 Maret 2021. (jl)