Ilustrasi
MATARAM -- Momentum peringatan Hari Bumi serentak diperingati pada tanggal 22 April, hari ini. Momentum ini seolah menjadi pukulan tersendiri bagi semua daerah di NTB lantaran kerusakan ekologis yang kian nyata.
Pemprov NTB sendiri memiliki program unggulan Zero Waste (Nol Sampah). Hanya saja program ini dinilai hanya pemanis bibir.
Beberapa waktu lalu, ramai media online meributkan soal penanganan sampah. Episentrum penanganan yang paling disorot yakni di Kota Mataram.
Buntut keributan itu, Wakil Gubernur NTB, Hj Sitti Rohmi Djalillah secara khusus bertemu dengan Walikota Mataram, H Mohan Roliskana. Ada beberapa poin penting yang dibicarakan dalam penanganan sampah.
"Coba lihat sekarang itu di Kota Mataram. Sampah kembali tidak terkendali," ucap Ketua Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) NTB, Murdani kepada JEJAK LOMBOK, Kamis (22/4).
Kondisi persampahan di NTB disebutnya tidak pernah benar-benar ditangani serius. Keterlibatan kabupaten kota dalam program ini disebutnya jauh panggang dari api.
Sedianya, penanganan sampah di NTB harus melibatkan partisipasi banyak pihak. Bukan saja kelompok masyarakat, tapi juga melibatkan pelaku dunia usaha.
Sembari menunjuk sejumlah nama perusahaan berskala besar yang ada di NTB, Murdani menyebut tak ada satu pun yang dilibatkan. Andil perusahaan yang mencari untung di NTB ini sama sekali tidak terlibat memikirkan kondisi daerah.
Kondisi sampah secara global saat ini disebutnya kian mengkhawatirkan. Volume produksi sampah dari tahun ke tahun terus menunjukkan tren peningkatan.
Ia kemudian menuding China sebagai penghasil limbah sampah plastik terbesar di dunia. Menyusul di urutan kedua yakni Indonesia.
Rata-rata dari kedua negara dengan populasi penduduk besar itu membuang sampah plastik yang bermuara di laut. Jika ini dibiarkan terus menerus, maka lambat laun mengganggu ekosistem laut.
"Besok ikan-ikan itu berubah dan digantikan sampah. Inilah kerusakan ekologis yang sedang kita hadapi," ucapnya.
Hangat dalam ingatan masyarakat NTB fakta terbaru soal kerusakan ekologis ini. Banjir bandang yang menerjang Bima dan Dompu adalah kasus nyata yang harus mendapat penanganan darurat.
Buntut banjir itu telah menyebabkan kerugian materil yang tidak sedikit. Jumlah kerugian yang ditimbulkan hingga puluhan miliar rupiah.
Bukan saja Bima dan Dompu, nyaris di semua kabupaten kot di NTB juga mengalami kerusakan ekologis akibat degradasi lahan hutan. Di Lombok Timur, Lombok Tengah, dan Lombok Barat sudah merasakan perihnya diterjang banjir.
Data WALHI NTB, tercatat sekitar 345 ribu hektare lahan hutan yang dilepaskan. Ribuan hektare lahan ini dikonversi untuk ladang jagung.
Jumlah dalam angka fantastis itu rupanya tak cukup. Sedikitnya sekitar 245 ribu hektar lahan hutan untuk konsesi tambang.
"Lihat di Sambalia dan Pringgabaya di Lombok Timur. Termasuk Bima dan Dompu itu, hampir pasti setiap tahun akan terus terjadi banjir di lokasi itu," ucapnya.
Belum lagi kebijakan pemerintah daerah yang memberikan sejumlah perusahaan mengkonversi kawasan hutan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI). Tercatat sebanyak 97 hektar lahan HTI di NTB yang beroperasi saat ini.
Dari luasan HTI itu, jelasnya, tidak sedikit lahan yang diambil merupakan kawasan hutan permanen. Hasil hutan berupa kayu di dalamnya kemudian ditebang dan digantikan dengan tanaman lain yang kemungkinan tidak permanen.
"HTI ini juga memicu terjadinya degradasi lahan dan kerusakan ekologis," ucapnya.
Di momen Hari Bumi hari ini, Murdani menyebut NTB tengah berkabung dalam kerusakan ekologis. Kondisi ini harus menjadi atensi serius dibarengi kebijakan komprehensif menangani kerusakan yang ada.
Ia kemudian menyinggung kebijakan Pemprov NTB yang sempat melakukan moratorium pengiriman Hasil Hutan Berupa Kayu (HHBK). Nyatanya, kebijakan ini setelah dievaluasi, Pemprov dituding tidak konsisten.
"Ada kelonggaran dalam kebijakan itu. Misalnya, tanaman seperti bonsai masih bisa dikirim," tandasnya. (jl)