Mendialogkan Nilai Hardiknas dan Malam-Malam Ganjil Akhir Ramadhan Dalam Budaya dan Keberagamaan Masyarakat Sasak Untuk Menguji Fitrah dan Hidayah Sebagai Sistem Metodologi Berfikir
Oleh Dr. Jamiluddin, M.Pd
MEMBIDIK dengan cerdik memang tak gampang. Butuh fitrah dan hidayah. Fitrah adalah dimensi potensi dan hidayah adalah ranah arah. fitrah dan hidayah tak terpisah. Fitrah tanpa hidayah akan menjadi dlolalah. Sementara itu, hidayah tanpa fitrah akan mangkrak tak bergerak.
Membidik dengan cerdik merupakan hal unik dan menarik. Cenderung berpeluang mendulang, bahkan menambang hikmah yang berlimpah. Inilah sebuah surah yang mengundang sebagian orang berpetualang melakukan perburuan dan membidik sasaran dengan cerdik. Penulis sendiri tak bisa mengelak dari kekuatan surah di atas yang menggugah dan memicu gairah. Persoalannya, penulis menjadi galau. Dalam keadaan tersebut, penulis kemudian memutuskan untuk mengajukan sebuah masalah, “Apakah membidik dengan cerdik hal-hal biasa juga akan menghadirkan hikmah yang berlimpah?”
Persoalan di atas menarik dibahas. Selain untuk menguji dan membuktikan kesahihan surah, juga bisa membuka cakrawala bahwa setiap pernak-pernik dalam layar lebar alam dapat dibidik dengan perspektif yang variatif. , Tak terduga, ternyata membedah surah di atas semakin menggoda. Kiranya pula kita niscaya segera membedah surah di atas dengan memilih satu objek yang memiliki klasifikasi seksi dan mentradisi atau sesuatu yang biasa dilakukan.
Setelah memilah, objek yang terpilih adalah link Hardiknas dengan ritual Mal-Mal Selikur dalam tradisi Sasak. Pilihan ini memiliki alasan simple, yaitu keduanya sedang diperingati masyarakat, khususnya Sasak secara bersamaan. Kata “diperingati” menunjukkan pilihan ini memenuhi kualifikasi mentradisi. Sedangkan kalimat yang menerangkan “kedua objek diperingati secara bersamaan” menunjukkan pilihan ini memenuhi kualifikasi seksi atau menarik.
Mengentas Hardiknas tentu tak terlepas dari penggagas pendirian lembaga pendidikan “Taman Siswa” pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Tersebutlah dalam sejarah sebuah nama besar, yaitu Raden Mas Soewardi Soerjaaningrat dan lebih akrab dengan sebutan KI Hajar Dewantara. Atas jasanya dibidang pendidikan, akhirnya Negara melalui Kepres Nomor 305 Tahun 1959 tanggal 28 November 1959, menetapkan tanggal lahirnya sebagai Hardiknas.
Sisi menarik dari seorang KI Hajar Dewantara adalah faham dan format pendidikannya yang tertuang dalam credo “Ing ngarso sung tolodo, Ing madya mangun karso, Tut wuri Handayani.” Dalam kalimat operasional, kredo ini dapat dideskripsikan menjadi “Pendidikan adalah proses memberikan bimbingan dan motivasi untuk membuat sebuah perubahan yang bemanfaat.
Narasi “Ing ngarso sung tolodo” yang secara special menghadirkan keteladanan sebagai inti ajaran pada hakekatnya merupakan belief terhadap dua dimensi penting pada setiap manusia. Dimensi yang pertama adalah “fitrah dan yang kedua adalah “hidayah.” Dimensi fitrah melekat pada pembimbing atau guru dan murid. Sementara hidayah berada pada kebenaran absolute dan lingkar pengamannya.
Dimensi fitrah meliputi penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecap, dan peraba debagai instrument inventarisasi data atau informasi. Dalam system processing dikenal beberapa aspek fitrah, seperti: pikiran, perasaan, sifat, sikap, IQ, kapasitas penyesuain social, dan lain-lain. Sementara pada bagian terdalam, fitrah berupa qolbu dan ruh dan populer dalam dunia tasawwuf modern dengan sebutan “Inner Capasity.”
Dimensi hidayah sendiri berupa ayat-ayat dalan kalam Tuhan, baik pada mushaf ataupun di bentang alam. Selain itu, perkataan dan perbuatan Nabi maupun Rasul. Kedua hidayah ini merupakan kebenaran absolut yang bebas kritik. Di bagian lingkaran pengaman terdapat hidayah seperti penjelasan dan pandangan para keluarga, sahabat, karib-kerabat Nabi dan Rasul, imam mazhab, ulama, cerdik pandai, nurma hukum, social, susila, dan lain-lain.
Kredo “Ing ngarso sung tolodo” memiliki alur nalar tentang desain kerja fitrah dan hidayah. Pada fase awal, ruh dengan sifat hayatum, murrun, jauharatun, rauhaniyyatin, samawiyatun, allamatun, bilquati, dan faalatun biththabi’i, memobilisasi seluruh fitrah manusia. Secara fisik kemudian manusia mulai mengindra dengan fitrah penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecap, dan peraba. Semua hasil pengindraan kemudian berdialog dengan “qolbu.” Dialog tersebut selanjutnya mengkondisikan qolbu atau dalam teologi Islam disebut mudhgoh atau segumpal daging. Qolbu yang terkondisi kemudian memengaruhi fitrah pikiran, perasaan, sifat, sikap, IQ, kapasitas penyesuain social, dan lain-lain. Berikutnya, akumulasi kerja system di atas membentuk perilaku manusia.
Memperhatikan alut system di atas, tahapan pengindraan merupakan fungsi “pewarna.” Walau tidak 100 persen, tapi semakin sering dan intensif sebuah objek diindra, maka warna dan rasa objek tersebut akan mendominasi fitrah. Tidak terkecuali qalbu, sementara baik buruk qalbu menentukan baik buruk manusia. Maka itulah kiranya kredo pada konsep pendidikan KI Hajar Dewantara sangat mementingkan “keteladanan” sebagai objek pengindraan murid. Sementara, “keteladanan” dalam konsep pendidikan KI Hajar Dewantara adalah hidayah.
Desain pemikiran KI Hajar Dewantara di atas ternyata cukup komunikatif jika didialogkan dengan nalar Sasak, khususnya tentang tradisi “Mal-Mal Selikur.” Tradisi ini berupa aneka upacara dan amal ritual menta’mirkan malam-malam ganjil Ramadhan yang diyakini sebagai waktu turunnya “Lailatul Qadar.”
Umumnya ritual dalam upacara “Mal-Mal Selikur” adalah pemasangan pelita dari buah jarak dan dalam perkembangannya dikombinasikan dengan lampu minyak dan listrik. Inti nilai yang terkandung dalam upacara ini adalah pentingnya “penerang” sebagai petunjuk arah bagi manusia. Sedemikian pentingnya “penerang” tersebut, maka setiap manusia harus memperoleh memahami, dan mengimaminya.Dalam konteks tradisi “Mal-Mal Selikur”, penerang dimaksud adalah “qadar” atau iradah Alloh yang sesungguhnya telah termaktub dalam al-qur’an dan telah diterangkan dalam sunnatur Rasulihi. Dengan demikian maka “penerang” tesebut adalah “hidayah.” Sementara itu, pelita dari buah jarak, lampu minyak dan listrik yang dipasang dalam ritual “Mal-Mal Selikur”, adalah simbolisasi pengindraan yang dilakukan oleh manusia dengan memberdayakan fitrahnya.
Ritual “Mal-Mal Selikur” beserta aneka agendanya adalah komponen sebuah sistem pendidikan. Ia adalah multikulturalisme di madrasah Romadhan yang kental dengan ritual keislaman. Tradisi ini berusaha secara integral dengan madrasah Romadhon untuk menghadirkan hamba-hamba yang berpredikat “Muttaqun.”
Penjelasan di atas menunjukan adanya simpul yang jelas antara sistem pendidikan Ki. Hajar Dewantara di Yogyakarta yang popular oleh kredo Ing Ngarso Sung Tolodo dengan system pendidikan dalam ritual integratif Madrasah Romadhon dan “Mal-Mal Selikur.” Simpul atau linknya pada pemosisian fitrah dan hidayah sebagai elemen penting dalam kedua sistem pendidikan tersebut.
Simpul atau link antara kedua sistem pendidikan yang dijelaskan di atas belum dibahas dan dientas sebelumnya. Dengan demikian, walaupun sangat terbatas, uraian ini telah membuktikan bahwa membidik dengan cerdik atau membaca sebuah objek dengan metodologi yang akurat seperti pemberdayaan fitrah dan hidayah terbukti akan menemukan hal-hal baru dan tentu membuka cakrawala ilmu pengetahuan. Wallohu’alamu.
* Pemerhati budaya Sasak, dosen IAIH NW Pancor, dan tenaga pendidik di SMAN 2 Selong.