PERIKSA: Suswadi saat memeriksa perkembangan jamur janggel yang dibudidayanya.
SELONG -- Sudah pernah mendengar nama jamur janggel? Nama jamur yang satu ini barangkali cukup asing bagi kebanyakan orang.
Jenis jamur yang satu bahan dasar pembuatannya berasal dari bongkol jagung. Dalam bahasa Jawa, bongkol jagung biasa disebut "janggel", itulah kenapa jamur yang satu ini dinamakan demikian.
Di Lombok Timur, jenis jamur yang satu ini bisa dibilang sebagai tanaman budidaya baru. Ada sekitar tiga petani budidaya yang mulai mengembangkan bisnis yang satu ini.
"Ada di Pringgasela, Rempung dan terakhir di sini, di Masbagik ini," ucap pemilik Hany Jamur Masbagik, Suswadi, kepada JEJAK LOMBOK, Jumat (4/6).
Sedianya, Suswadi mengaku merupakan petani ketiga yang melirik komoditi yang satu ini. Ia mengaku tertarik mengembangkan budidaya jamur ini lantaran masih jarang yang menekuninya.
Motivasi lain yang membuatnya tergiur menekuni bisnis ini lantaran peminat atau konsumen jamur dianggap sangat tinggi. Terlebih kehadiran jamur alami hanya bisa dipasok dalam jumlah terbatas. Itupun hanya ketika musim hujan tiba.
Saat ini, ucapnya, varian jamur seperti jenis jamur tiram sudah banyak ditemui dan dibudidayakan. Hanya saja, seiring waktu lantaran sejumlah kekurangan dan tingkat kerumitan, proses budidayanya membuat calon petani terkesan enggan menekuninya.
Dari sisi tekstur rasa dan aroma, jamur tiram juga dinilai kurang sedap. Dari sisi rasa, jamur tiram disebutnya masih meninggalkan sisa rasa kayu. Di lain sisi, aromanya tercium agak apek.
Berbeda dengan jamur janggel. Jamur yang satu justru sebaliknya. Tekstur rasa dan aromanya relatif mendekati jamur yang tumbuh alami.
Suswadi mengaku mulai tertarik membudidaya jamur ini tidak lebih dari dua bulan lalu. Di usia yang sangat singkat itu, peminat masyarakat yang mengonsumsi jamur ini sangat tinggi.
Buktinya, dari lima wadah pembibitan jamur yang dimilikinya dianggap masih kurang. Ini karena tingkat permintaan hasil panen jamur yang diproduksinya selalu ludes terjual.
Stok jamur janggel yang dipanennya setiap hari sudah dipesan oleh warga sekitarnya. Dirinya mengaku sedikit kelimpungan ketika ada pesanan dari luar lingkungannya.
"Karena kita juga menjual jamur ini lewat media sosial. Sering kita dapatkan order dari luar saat stok kita sangat terbatas," ucapnya.
Tak heran jika pria kelahiran 30 November 1988 ini bertekad terus memperbanyak wadah pembibitan jamur yang dimilikinya. Proses pembibitan ia lakukan di lahan miliknya seluas kurang lebih 1 are.
Suswadi membeberkan, proses budidaya jamur ini sangat sederhana. Diperlukan wadah berukuran 1 x 2,5 meter saja. Di dalam wadah ini nantinya akan ditaburi tongkol jagung sebanyak 3 karung berukuran 1 kwintal.
Dalam proses penaburan atau pembibitan jamur ini terdiri dari dua lapisan. Lapisan pertama dan kedua masing-masing berketebalan 10 cm.
Pada setiap lapisan pertama kemudian ditaburi dengan dedak halus yang dicampuri tape dan pupuk urea.
"Dibutuhkan 3 kilogram dedak halus, 10 biji tape dan 6 ons pupuk urea sebagai campuran. Lalu di setiap lapisan disiram dengan takaran air dalam kadar tertentu hingga setiap lapisan cukup basah," terangnya.
Sejak proses penaburan bibit, ucapnya, dibutuhkan waktu sekitar 2 minggu untuk memasuki usia panen. Di usia satu Minggu setelah proses pembibitan, misillium (bakalan jamur) sudah mulai tumbuh dan terlihat di bongkol jagung tersebut.
Suswadi mengaku menekuni bisnis ini karena cukup menggiurkan. Belum lagi karena modal yang dikeluarkan untuk proses budidaya disebutnya sangat murah.
Untuk proses pembuatan wadah disebutnya tidak sampai mengeluarkan uang Rp 50 ribu. Wadah itu terdiri dari kayu, paku, karung dan mulsa.
Sebagai sentrum budidaya jamur, Suswadi mengembangkan bisnisnya di Lingkungan Kebun Lauk Timuk, Masbagik Selatan, Kecamatan Masbagik. Ia tercatat sebagai orang pertama yang mengembangkan bisnis ini di desanya.
"Kalau jamur tiram, sudah banyak di sini," ucapnya.
Suswadi kemudian membeberkan sisi pemasaran jamur yang dilakoninya. Ia menggunakan wadah streopoem untuk memasarkan jamur yang telah dipanen. Per wadah streopoem ini dihargakan Rp 10 ribu.
Sejatinya, Suswadi bukan orang sembarangan. Ia merupakan salah satu mantan pentolan aktivis mahasiswa. Namun dari proses perjalanan hidup yang dilaluinya, ia mengaku lebih tertarik bertani dan bergelut di sektor bisnis.
Dari latar belakang riwayat hidupnya yang pernah diliputi kesusahan, ia mengaku selalu dijadikan cermin. Karena itu, ia tak pernah pelit membagi ilmunya, termasuk proses budidaya jamur janggel.
"Saya berharap dengan membagi ilmu, bisa beramal jariyah dan membantu mereka yang kesulitan secara ekonomi agar tertarik ikut serta membudidaya," tandasnya. (jl)