Taman Pantai Suryawangi
SELONG -- Labuan Haji terus menjadi persoalan publik. Tak hanya berkaitan dengan sampah, namun juga pengelolaan lokasi itu.
Salah satunya yakni persoalan penarikan retribusi Taman Suryawangi, Kelurahan Suryawangi, Kecamatan Labuan Haji, Lombok Timur. Bahkan hal itu sampai saat ini masih menjadi perdebatan publik.
Koordinator Keamanan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pantai Suryawangi, Samsul Hadi menerangkan, penarikan retribusi itu berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 tahun 2013. Jadi kata dia, tidak benar informasi bahwa setiap orang yang melintas di jalan tersebut dikenakan tarif.
"Di perda itu di luar dari warga Suryawangi dikenakan biaya," ujar Samsul Hadi, Selasa (15/6).
Meski begitu, ucapnya, telah memberlakukan kebijakan. Pihaknya tak memungut biaya bagi bukan hanya bagi warga Suryawangi saja. Tapi juga bagi penyabit rumput, pemancing dan orang yang sakit.
Bagi masyarakat Labuan Haji yang yang ingin berobat misalnya, tak dipungut biaya. Bahkan diberikan tambahan biaya berobat sampai Rp 20 ribu.
Dirinya menegaskan, tak memungut biaya bagi orang yang tak menikmati destinasi wisata tersebut.
Ia menjelaskan, yang sering membuat onar yakni orang yang ingin balap liar di tempat itu. Namun di lain sisi, mereka ingin masuk gratis.
"Setelah bersih mereka datang mau mengotori," ujarnya.
Atas dasar itu, ucapnya, pihaknya mengatakan bagi warga di luar Suryawangi akan dipungut biaya. Itupun bukan Rp 5 ribu per orang, namun dikenakan per paket.
Menurutnya, berapa pun isi dalam satu rombongan tetap dikenakan Rp 10 ribu per mobil. Sekalipun isinya sampai 20 orang tetap dibiayai sejumlah itu.
"Itu atas kebijakan Pak Mugni selaku Kadispar," sebutnya.
Camat Labuan Haji, Muhir menjelaskan, terkait Taman Pantai Suryawangi disebutnya kewajiban. Hal itu merupakan konsekuensi dari perjanjian Dinas Pariwisata Lombok Timur dengan pengelola setempat.
"Kebijakan itu berdasarkan Perda nomor 3 tahun 2013," sebutnya.
Jadi seluruh retribusi yang dikenakan sebutnya, 60 persennya sebagai salah satu sumber PAD bagi daerah. Sementara 40 persen untuk operasional pengelola.
Namun demikian dirinya mengaku banyak hal yang harus diperhatikan dan dibenahi.
Pertama, karena baru buntutnya banyak menimbulkan pro dan kontra. Jalan itu disebutnya, tengah dalam proses pemantapan sebagai kawasan wisata.
Itu artinya, kata dia, nantinya jika ketetapan itu telah keluar dari Dispar dan sesuai informasi yang diterimanya maka tak ada lagi yang akan mengklaim lokasi itu.
"Tolong garis bawahi, yang banyak protes sopir dam yang mengambil jalan pintas melalui jalaur tersebut," bebernya.
Mobil itu disebutnya, mengangkut material galian C dari beberapa wilayah, seperti Ijo Balit, Geres dan Karang Sari. Untuk menghindari retribusi yang dibebankan berdasarkan Perda.
Ia mengklaim, tak ada masyarakat tak ada yang protes pemberlakuan kebijakan itu. Bahkan pemilik kebun di sekitar pun tidak.
Ia menjelaskan, prihal pembersihan lapak yang ada di trotoar disebutnya sebagai amanat Perda. Trotar berdasarkan Perda merupakan daerah pengawasan jalan, bukan daerah milik jalan.
Artinya, terang Muhir, tak boleh ada kegiatan yang bisa menganggu pengguna jalan.
Saat disinggung soal adanya pengenaan biaya bagi orang hendak melintasi jalan tersebut, hal itu disebutnya hanya kasus. Bisa saja orang yang tak dikenal oleh petugas yang jaga pada hari itu.
Dan ia pun mengakui peristiwa itu. Bahkan ia pun mengalami langsung kejadian tersebut.
"Karena saya pun tidak dikenal, saya pun bayar Rp 5 ribu sekedar mau lewat," tuturnya.
Belum lama ini Ketua DPRD Lotim, Murnan menegaskan, tak semua orang harus dipungut retribusi atau tiket. Namun yang jelas, akses-akses publik harus tetap menjadi milik umum.
"Yang mau diprivatisasi silahkan tapi tidak semua," ujarnya.
Pihaknya berharap di situlah kearifan dan kebijakan Pemkab memandang secara menyeluruh dari apa yang dilakukan. Jangan sampai orang setempat yang kena, padahal itu aksesnya sendiri.
Pengenaan tarif bisa saja bagi orang yang parkir. Tapi tak berlaku bagi yang hendak melewati jalan tersebut.
"Masak orang lewat mau dihadang, tidak bisa," ujarnya.
Ia mencontohkan, jalan bandara yang tak memiliki akses, barulah bisa dikenakan bayaran, tapi ini ada penghubungnya.
"Intinya ini akses publik jangan diprivatisasi," ujarnya. (kin)