Roma Hidayat
SELONG -- Persoalan pekerja migran tak ubahnya seperti benang kusut. Pasalnya sampai saat ini belum bisa terurai dengan baik.
Dampak yang ditimbulkan juga semakin kompleks baik secara sosial maupun kultur. Terlebih Lombok Timur, tercatat sebagai penyumbang nomor dua terbesar pengiriman tersebut.
Di lain sisi, keberadaan pekerja ini menjadi pahlawan bagi devisa negara. Meski terus dihantui oleh persoalan lain di tempat mereka bekerja.
Merespon hal itu, lembaga Advokasi Buruh Migran Indonesia (ADBMI), menggelar Seminar Perlindungan Inklusif Pekerja Migran. Kegiatan ini digelar di Auditorium Universitas Hamzanwadi Selong, Rabu (30/6).
"Jadi tahapan seminar ini dalam rangka kita mendorong semua inisiatif perlindungan inklusif itu masuk sebagai fasis kebijakan," ucap Direktur ADBMI, Roma Hidayat, kepada awak media.
Kata dia, kebijakan pekerja migran itu tak lagi parsial, tapi agar lebih komperhensif dan inklusif. mengingat pekerja migran bukan saja persoalan orang berangkat sebagai pekerja, tapi sudah menjadi masalah kultural dan sosial.
Ia mencontohkan sejumlah masalah yang muncul. Sebuah saja seperti lahirnya persoalan anak yang berhadapan dengan hukum, korban seksual, jadi pemicu pernikahan dini, perceraian yang tinggi, serta disabilitas.
Persoalan PMI disebutnya tidak bisa menggunakan pendekatan sepotong-sepotong. Harus ada pendekatan komperhensif dan mengadopsi paradigma inklusif.
"Kita berharap pikiran ini muncul secara eksplisit di dalam Peraturan Daerah (Perda)," harapnya.
Kegiatan itu, bebernya, sebagai gong ke pemerintah agar merevisi Perda nomor 12 tahun 2006 tentang Perlindungan Pekerja Migran.
Bayangkan, ucap Roma, undang-undang yang mengatur tentang pekerja migran tercatat sudah dua kali mengalami perubahan. Sementara Perda di Gumi Patuh Karya sudah lama, dan belum melakukan penyelarasan terhadap hal tersebut.
Agenda itu disebutnya sebagai ruang mendapatkan masukan. Ini penting yang pada gilirannya akan diformulasikan menjadi draf Perda dan membantu pemerintah membuat rencana strategis mewujudkan peraturan tersebut.
Saking lamanya Perda tersebut disebutnya telah mengalami kadaluarsa.
ADBMI sendiri telah melakukan beberapa hal. Terbaru yakni berupa menggelar pelatihan bagi organisasi sayap desa sebagai konselor.
Setelah dilatih secara profesional, ucapnya, kader-kader tersebut nantinya akan melakukan konseling ke keluarga dari pintu ke pintu. Tujuannya untuk memitigasi dampak negatif, yang sering terjadinya disinformasi, khususnya bagi keluarga pekerja migran.
Sementara itu, Kepala Disnakertrans Lombok Timur, H Supardi mengapresiasi kegiatan tersebut. Kegiatan ini dinilai dapat meningkatkan pemahaman khususnya bagi para pekerja migran.
Sebenarnya, kata dia, hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2017 tetang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Baik itu sebelum bekerja maupun setelahnya.
"Disitu sudah jelas diatur," terangnya.
Ia menjelaskan, perlindungan sebelum bekerja yaitu meliputi dokumen. Sebab, banyak warga yang berangkat secara non prosedural, salah satunya dengan cara pemalsuan.
Dirinya mengakui, jika pangkal masalah pekerja migran di Lotim, yakni banyaknya masyarakat yang berangkat secara non prosedur.
Menurutnya, hal itu sangat penting sebab sebagai perlindungan sebelum berkerja. Kejelasan identitas itu meliputi KTP, izin, pasport, visa termasuk didalamnya BPJS-nya.
Selanjutnya, beber Supardi, ialah perlindungan teknis. Baik yang menyangkut, pemahaman masyarakat yang hendak pergi.
Termasuk didalamnya menyangkut hak dan kewajiban berupa penandatanganan perjanjian kerja. Itu didapati jika berangkat melalui prosedur yang benar.
Sedangkan perlindungan setelah kerja, yakni berkaitan dengan pemulangan dan fasilitas pemenuhan hak yang sesuai dengan perjanjian.
Ia mengaku, sampai saat ini pihaknya belum memiliki data bagi mereka yang berangkat secara ilegal. Bahkan, lokasinya pun sampai saat ini tak diketahuinya.
Pihaknya mengetahui hal itu setelah banyak terjadinya persoalan. Ketika yang bersangkutan melapor ke BP2MI, maupun perwakilan Komjen di luar negeri.
Sebab, kata dia, pekerja yang berangkat menempuh jalur ilegal ini, diyakininya tak melalui Pemerintah Desa (Pemdes). Sebab jika perjalanan resmi wajib hukumnya meminta surat pernyataan dari keluarga yang mengetahui kades.
Ia menerangkan, pekerja ilegal ini berbagai modus. Misalnya yang pernah ditemukannya, yang awalnya izin berangkat kerja ke Bali, tak lama yang bersangkutan sudah sampai ke negara tujuan. (kin)