Hamzani
SELONG — Kisah pilu kembali menimpa Pekerja Migran Indonesia (TKI) asal Lombok Timur. Rentetan tragedi yang terjadi seolah tak berkesudahan.
Desakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, tak jarang membuat siapapun kalap dengan mengambil keputusan yang paling berani sekalipun dalam hidupnya. Termasuk menjadi pekerja migran dengan menyeberangi laut perbatasan, demi sesuap nasi.
Seperti apa yang dialami salah seorang TKI asal Dusun Lingkok Dudu, Kelurahan Suryawangi, Kecamatan Labuan Haji, Lombok Timur, Hamzani misalnya. Pria ini kehilangan kedua tangan dan kakinya, hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Dulua, ia yang memiliki fisik lengkap. Sepulangnya dari Malaysia harus puas hanya duduk di kursi roda. Bahkan makan pun harus melalui bantuan sanak keluarganya.
Hilangnya kedua tangan dan kaki Hamzani akibat dirinya mengalami kecelakaan di tempat kerjanya.
“Saya kesetrum arus listrik di lahan sawit tempat saya bekerja,” tutur Hamzani, Jumat (19/11).
Ia menceritakan, kejadian itu berawal pada saat dirinya tengah bekerja memanen buah kelapa sawit di negeri jiran Malaysia. Seusainya memetik di salah satu pohon, ia berpindah ke pohon lainnya.
Sambil membawa alat panen berupa pisau dan pengait, dirinya berjalan menuju pohon yang lain. Namun di dekat pepohonan itu terdapat sebuah tiang listrik dengan kabel yang tak terbungkus.
Sebelum sampai ke pohon tujuan, pengait berupa besi yang diujungnya terdapat pisau itu nyangkut di kabel tersebut. Kontan dirinya disengat arus listrik.
Dia mengatakan, dirinya sudah mencoba menarik dengan sekuat tenaga alat yang dibawa itu, tapi ia tak berdaya. Ia juga berusaha melepas pegangannya, namun usahanya itupun tak berhasil.
“Jadi seperti ayam dipotong itu, tergeletak pingsan,” ucapnya.
Setelah itu, imbuhnya, dia tak ingat apapun, baik orang yang menemukan pertama kali, dan membawanya ke rumah sakit, di Kedah, Malaysia. Dari dokter setempat dirinya tahu jika ia mengalami pingsan selama dua jam lebih.
Ia mengaku firinya dirawat di rumah sakit tersebut selama sebulan setengah. Sedihnya lagi, dalam kondisi itu ia harus menikmati kesendirian lantaran pengunjung tak bebas keluar masuk lantaran covid-19.
Terkadang, tutur dia, dalam sebulan itu hanya dua kali ia dijenguk sanak keluarga, lantaran ketatnya rumah sakit buntut dari pandemi. Baru selesai sebulan setengah diirnya keluar dari rumah sakit tersebut.
Setelah keluar, tuturnya, dirinya berencana pulang ke tanah air. Namun demikian, sebulan setengah dirawat, bukan sembuh yang didapati malah semakin parah. Darah yang mengalir secara terus menerus dari luka yang dialaminya.
Tragisnya, kini tulangnya pun sudah berubah warna mejadi merah. Begitu juga dengan daging yang sudah tak mau menyatu lagi dengan tulangnya.
Krmalangan Hamzani tak terhenti sampai di situ. Perawat setempat ketika melepas perban memalingkan muka karena bagian lukanya sudah mengeluarkan bau busuk.
“Mungkin kalau lima hari tidak dibuka sudah keluar ulat dari luka ini,” ujarnya.
Dalam kondisi seperti itu dirinya, bulatkan tekad ingin pulang. Tapi sesampainya di bandara, pihak setempat tak bisa memberangkatkannya lantaran luka yang terus menerus keluarkan darah.
Setelah ditolak oleh pihak bandara, dirinya masuk di sebuah rumah sakit di Johor, Malaysia. Ia berpikir bisa keluar dalam tiga sampai empat hari.
Tapi setelah masuk, lanjutnya, terkadang tenaga medis setempat tak sudi melihat lukanya, lantaran kondisi yang tak memungkinkan.
Tak lama berselang, tuturnya, dokter setempat bertanya kepada dirinya prihal luka yang harus segera mendaptkan tindakan medis serius. Karena jika tidak, lukanya yang dideritanya kata akan merambat ke jantung.
Dalam kondisi itu, dokter setempat memberi pilihan. Yakni, anatara mempertahankan anggota tubuhnya ataukah mempertahankan nyawanya.
Terhadap dua pilihan sulit itu, kepada pihak medis ia meminta waktu. Ia meminta penangguhan selama sehari untuk mengambil keputusan.
“Yang beratnya, apakah bos saya mau bertanggung jawab biaya,” tanyanya.
Keesokan harinya, bebernya, dokter setempat kembali mengulang perkataannya. Memilih diamputasi atau akan merambah ke jatung. Akhirnya, dirinya menyerah dan menyetujuinya.
Setelah itu, ucap dia, dokter setempat lansung bertindak. Syukurnya lagi, biaya operasi itu ditanggung oleh bos tempatnya bekerja.
Singkat cerita, sekeluarnya dari rumah sakit dirinya langsung pulang melalui jalur laut. Lantaran dulu, dirinya berangkat ke negeri jiran melalui jalur yang tak resmi.
Setelah sampai Batam, ujarnya, dirinya tak pulang sendiri namun ditangani oleh Pemerintah RI melalui BP2MI. Ia mengaku, dari pemerintah daerah telah banyak juga yang mendatangi dan memberikan bantuan.
“Asuransi dari perusahaan tempat saya bekerja, saya disuruh tunggu,” ujarnya.
Terpisah, Bupati Lombok Timur, HM Sukiman Azmy mengungkapkan, dirinya telah mengatahui peristiwa itu. Menurutnya, kejadian itu lantaran kekuranghati-hatian yang bersangkutan.
Meksi begitu, kata dia, pihaknya melalui dinas terkait memberikan perawatan berupa penyiapan kursi roda. Hamzani juga diberikan BPJS Kesehatan.
Dirinya mengaku telah menanyakan kepada Dinas Sosial, apa yang dapat dikerjakan pasca perawatan usai.
“Tinggal itu yang menjadi pertanyaan, soalnya kan tangan kakinya terpotong. Kalau tidak kan masih bisa naik motor, jadi apa yang bisa kita bantu. Mungkin dengan kaki dan tangan palsu, itu juga masih dalam pemikiran,” ujarnya. (kin)